Chapter 33
Sonder
By saytheutic.
.
.Rean tidak ingat betul apa yang sudah dialaminya beberapa hari ke belakang. Terakhir yang ia ingat, malam hari ketika hendak kembali ke rumah sakit. Memikirkan kalau di malam itu Rean dapat tidur dengan nyenyak setelah menikmati siomaynya dengan sang adik. Besok paginya harus kembali ke rumah sakit, namun tanpa lelah yang mendera tubuh.
Setidaknya, begitu rencana Rean malam itu.
Ketika Rean kembali membuka mata, hal yang pertama kali didapatinya adalah keberadaan Anggia. Rasa kantuk yang begitu berat masih mengganggu, namun tertutupi oleh nyeri di seluruh tubuh. Rean mengerang pelan, berusaha menggerakkan tubuh yang terasa tidak nyaman.
"Hei." Panggilan itu terdengar, membuat Rean sedikit menoleh, menatap Anggia. Wajah bundanya itu tampak kelelahan. Kantung mata yang memang sudah parah sejak dulu, kini terlihat jauh lebih parah. Senyum tipis berusaha tersungging di wajah.
Kepala Rean terasa pening, tetapi ia berusaha untuk membalas senyuman Anggia. Ingin meraih jemari sang bunda, hanya saja tangan kirinya terpasang infus—yang agak terasa sedikit sakit ketika digerakkan, sementara tangan kanannya justru tidak dapat digerakkan sama sekali.
"Apa yang kamu rasain sekarang? Ada yang terasa sakit—ah, badan kamu pasti sakit semua, ya."
Rean mengangguk pelan. Tidak dapat menyangkal, karena memang hal itu yang ia rasakan. Sepertinya, benturan yang Rean alami malam itu cukup parah.
"Bunda, Zello di mana?" Bukan jawaban yang keluar dari bibir Rean, melainkan sebuah pertanyaan. "Dia ... baik-baik aja, 'kan?"
Anggia diam sejenak, lalu mengangguk. "Kamu tenang aja, Yan. Adek kamu baik-baik aja, kok," jawab Anggia. Ia mengusap surai Rean dengan lembut. "Sekarang, kamu fokus sama diri kamu sendiri, oke?"
"Pas malam itu ... aku janji bawain makanan buat Zello. Aku janji buat pulang." Rean terkekeh pelan sejenak. "Tapi, ternyata aku nggak bisa nepatin janji aku, ya?"
Anggia belum bicara pada Rean mengenai Zello. Terutama mengenai kondisi anak bungsunya tersebut. Baginya, mungkin untuk sesaat dirahasiakan tidak apa-apa. Setidaknya, Rean juga harus berfokus pada penyembuhan dirinya dulu.
"Aku ... masih punya kesempatan itu, 'kan, Bun?" Rean kembali berucap. "Buat memperbaiki semuanya. Jadi kakak yang baik buat Zello."
Anggia mengangguk cepat. Berharap bahwa apa yang diucapkan Rean menjadi doa agar keduanya tetap hidup. Hingga setidaknya, harapan mereka dapat terwujud.
"Oh, ya, Bun." Rean berucap pelan. "Bisa tolong kasih tahu ke Zello buat temenin aku malam ini? Aku agak kangen masakannya."
"Ah, soal itu ...."
•••
"Tuhan sayang banget sama lo, ya, Zel," ucap Ghavi pelan. Ia sedang melamun, berdiri di depan meja dengan buku observasi yang berukuran besar. Kedua lengan terlipat di atas meja. "Serangan lagi, untungnya masih bisa selamat. Sebesar apa, sih, semangat yang lo punya?"
Zello tidak akan menjawab, Ghavi tahu itu. Hanya saja, tanpa dijawab pun, ia seharusnya tahu apa jawabannya. Meski sudah berulang kali berbicara bahwa Zello tidak sanggup untuk terus berjuang, nyatanya laki-laki itu masih memiliki rasa takut akan kematian. Mungkin itu menjadi salah satu alasan untuk bertahan.
Alasan lain ... mungkin memang ada hal yang ingin Zello capai. Entah itu keinginan untuk memelihara kucing atau sekadar makan makanan di pinggir jalan. Untuk yang satu itu, hanya Zello yang tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sonder
General FictionAzello Narendra mungkin merasa bahwa ia sudah hidup sesuai dengan keinginannya. Cita-citanya sudah tercapai, dan Zello dapat menjalani hidupnya yang sempurna tanpa masalah. Tetapi, Rean, kakaknya, yang selalu menganggap Zello sebagai seorang rival...