Chapter 23

2.6K 307 37
                                    

Chapter 23
Sonder
By saytheutic

.
.
.

"Azel, kamu mau ke mana?"

Baru dua hari sejak Zello keluar dari rumah sakit, namun ia sudah rapi kembali. Dengan baju kasual dan tas yang berada di punggung. Sembari duduk di kursi meja makan, Zello membalas, "Aku belum dipecat, 'kan?"

Anggia lantas menghela napas panjang. Anaknya itu memang belum dipecat. Mengingat dirinya memang bukan kabur begitu saja. Kinerjanya juga dianggap baik.

Ditambah, merupakan anak petinggi.

"Ya, belum, sih," jawab Anggia. Ia menghampiri Zello dan duduk di sebelahnya. Merasa sedih karena sang putra semakin mengurus. Tangannya mengusap lengan Zello perlahan. "Istirahat sebentar lagi, ya. Bunda udah bilang ke kepala ruangan kamu, kalau kamu butuh istirahat lebih. Jangan sampai, karena kerja kamu jadi drop lagi."

"Udah terlalu lama aku absen." Zello berucap. Ia menatap Anggia dalam-dalam, berusaha meyakinkan wanita tersebut. Senyumnya lebar, menutupi pucat di wajah. "Lagian juga, nggak enak kalau Bunda terus bantuin aku. Aku udah dewasa, loh."

"Mana ada?" Anggia menjawil hidung Zello dengan lembut. "Kamu selamanya jadi bayi Bunda."

Zello berdecak pelan. Ia memilih bangkit, melepaskan pegangan tangan Anggia di pundaknya. Wajah yang tampak memerah samar itu kemudian Zello tutupi dengan mengalihkan pandangan.

"Aku udah 23 tahun, jangan perlakuin aku kayak anak-anak lagi, Bun," balas Zello, agak kesal. "Aku mau berangkat aja. Takut telat. Nanti, jadi bahan omongan lagi."

"Nggak telat aja, kamu jadi bahan omongan."

"Nah, itu masalahnya." Tangan Zello yang terkepal kemudian menggebrak meja perlahan. "Aku, tuh, nggak mau nambah bahan gosipan lagi. Walau lumayan, sih, pahala aku nambah. Soalnya, digosipin terus."

Anggia terkikik geli mendengar ucapan Zello. Ia ikut bangkit, lalu mengacak surai legam Zello yang berantakan. "Hati-hati di jalan, ya," bisik Anggia lembut. "Kalau ada apa-apa, kamu harus segera kasih tahu Bunda. Jangan sampai Bunda dengar kamu masuk IGD lagi. Bunda ... nggak mau ngalamin hal kayak gitu lagi."

Zello tersenyum tipis. Ia meraih tangan Anggia dan menggenggamnya dengan erat. "Bunda seharusnya udah biasa," balasnya. Merasa tidak suka dengan kenyataan tersebut, namun Zello tidak bisa juga mengelak.

Kondisi jantung yang fungsinya menjadi jauh lebih buruk, mungkin akan membuat Zello kesulitan. Mungkin akan membuat Zello lebih sering datang ke instalasi gawat darurat. Dan mungkin ... suatu hari nanti akan merenggut nyawanya.

Zello juga takut, namun mau tidak mau, ia harus terbiasa. Zello juga ingin semua orang terbiasa dengan kondisinya. Hingga ketika harus kehilangan, sudah tidak ada lagi rasa berat untuk merelakan.

"Bunda nggak akan pernah terbiasa, kalau itu menyangkut soal kamu." Anggia berujar.

"Bunda awalnya perawat di IGD, loh."

"Ya, tapi kalau soal anak kesayangan Bunda, semuanya beda. Bunda nggak bisa ngelihat kamu kayak pasien yang lain." Anggia mengusap pipi Zello yang dingin dengan lembut. "Makanya itu, jangan sampai Bunda dapat kabar buruk lagi, ya."

"Aku nggak janji."

"Kamu nggak perlu janji, Zel. Kamu cuma harus berusaha."

Zello diam sejenak, sebelum melepas genggaman tangannya. Ia tersenyum, sebelum membalik tubuh dan berjalan meninggalkan Anggia begitu saja. Merasa sedih karena ucapan sang bunda, namun Zello tidak ingin menunjukkannya.

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang