Chapter 9

2.8K 357 23
                                    

Sonder
Chapter 9
By saytheutic

.
.
.

Ketakutan Zello menjadi kenyataan.

Saat ia sedang berbaring di kamar dengan kondisi mengenaskan, Anggia tiba-tiba muncul. Berdiri di sisi ranjang sambil berkacak pinggang. Kemarahan tergambar jelas di wajah, namun juga terselip rasa khawatir.

"Ini yang kamu bilang nggak apa-apa?" Anggia berujar, terdengar tajam hingga kedua manik mata Zello enggan menatap sang bunda. "Baru tadi kamu bilang kalau ada apa-apa, Bunda yang pertama tahu. Berani kamu bohongin Bunda?"

Zello menghela napas panjang. Sesaknya sudah berkurang karena menggunakan alat bantu pernapasan. Entah bagaimana nasib Zello jika tidak ada kolega yang peduli dengan dirinya. Zello juga tidak dapat membayangkan jika ruangan sedang sibuk.

"Maaf." Zello berujar lirih. Ia berusaha bangkit, namun Anggia menahannya. Memaksanya untuk kembali berbaring dengan posisi semi fowler. "Aku cuma nggak mau Bunda khawatir."

Anggia mengusap wajah dengan kedua tangan dan duduk di sebelah Zello. Ia tidak habis pikir dengan pikiran sang putra. Tidak ingin membuat khawatir, tapi kondisinya saat ini benar-benar membuatnya takut.

"Bun, Ayah udah tahu?"

Anggia menggeleng pelan. Ia juga baru saja tiba setelah dikabari oleh Ayu. Belum sempat mengabari sang suami dan langsung menghampiri Zello. Takut kondisi anaknya itu memburuk, dan memang itu yang sebenarnya.

"Bunda belum sempat ngomong ke ayah kamu," jawab Anggia. Ia mengusap wajah Zello, lalu keningnya yang tertutupi surai legam. "Bunda lapor ke Ayah, ya. Biar bisa diperiksa lebih lanjut. Keluhan kamu apa selain sesak?"

Zello menggeleng pelan. "Cuma sesak, kok," ucap Zello. "Sama ... agak sedikit nyeri dada."

Kelopak Anggia melebar. Apa Zello tidak akan jujur jika tidak ada kejadian semacam itu? Sampai kapan sang putra akan menutupi keluhan tersebut darinya?

"Sejak kapan?" Suara Anggia terdengar lirih. Rasanya, meski sudah benar-benar memperhatikan Zello, masih ada yang terlewat, hingga ia tidak menyadari masalah sebesar ini. "Kenapa kamu nggak bilang sama Bunda sejak awal? Kalau Ayu nggak ngabarin, apa kamu juga bakal nutupin masalah ini? Ini masalah penting, Zel. Kamu harus sadar, kalau kamu nggak bilang, justru bikin Bunda makin khawatir."

"Maaf." Tangan Zello mencengkeram selimut yang ia gunakan. Merasa kesal pada diri sendiri karena membuat bundanya khawatir. Jika dirinya sehat ... mungkin bunda dan ayah tidak perlu memperhatikannya dengan ekstra.

"Lagi pula, tahu begini, kenapa kamu nggak ke IGD? Di sana ada kakak kamu, loh. Kamu bakal dapat perawatan yang lebih baik juga." Anggia berucap. Tangannya mengusap puncak kepala Zello dengan lembut.

"Justru itu." Zello menggigit bibir. Suaranya terdengar lirih. Ia bahkan enggan menatap Anggia. "Aku nggak mau Kak Rean tahu. Aku takut dia malah makin nggak suka sama aku. Siapa pula yang suka sama anak penyakitan kayak aku? Lagian juga ... Kak Rean nggak pengin punya adek kayak aku."

Anggia menatap Zello nanar. Sedikit banyak ia tahu duduk permasalahan di antara keduanya. Semua bermula kaetika keduanya masih anak-anak.

Rean yang aktif dan sehat, berbanding terbalik dengan Zello yang masa kecilnya sudah diisi dengan prosedur invasif. Sebagai orang tua, Anggia dan Rendra malah lebih mencurahkan perhatian pada putra bungsunya, hingga melupakan sang kakak. Anggia kira, semakin dewasa, Rean akan semakin mengerti.

"Maafin Bunda, ya," ucap Anggia lirih. Ia membungkuk, memeluk Zello yang sedikit terkejut dengan perlakuannya. "Maaf karena Bunda nggak bisa jaga kamu sampai kamu harus ngalamin semua ini. Bunda bukan ibu yang baik buat kamu."

Bibir Zello terkatup rapat. Lalu, senyumnya terbit. Tangannya perlahan mengusap punggung Anggia.

"Kenapa Bunda harus minta maaf?" Zello bertanya, namun bukan sesuatu yang membutuhkan jawaban. "Aku nggak apa-apa, loh. Justru aku ... senang bisa jadi anak Bunda selama ini."

Kedua kelopak mata Zello terpejam, menghirup aroma Anggia yang khas. Begitu menenangkan, hingga membuatnya merasa mengantuk. Sesak yang sejak tadi menyiksa, mulai berkurang. Rasanya, Zello bisa berlari dengan bebas saat ini.

"Lumayan, loh, Bun, jadi anak petinggi rumah sakit." Zello nyengir lebar ketika pelukan Anggia terlepas dari tubuhnya. "Nggak semua orang punya kesempatan yang sama, punya orang tua yang hebat."

Anggia tertegun sesaat. Tangannya terangkat, mengusap cairan yang mulai menggenangi kelopak matanya. Perlahan, senyumnya terbit.

"Terima kasih, ya, udah mau jadi anak Bunda."

"Aku juga berterima kasih, karena udah diberikan kehidupan selama ini. Aku ... benar-benar bersyukur bisa jadi anak Bunda sama Ayah."

•••

Suara riuh terdengar begitu Rean kembali ke instalasi gawat darurat. Ia menguap sesaat, sebelum kembali duduk di nurse station. Kedua alisnya tertaut heran.

"Dok, udah dengar belum?" Resa, yang sepertinya masih memiliki semangat walau jarum pendek sudah menyentuh angka tujuh, bertanya.

Rean mengernyit heran. "Tentang apa?" Ia balas bertanya.

"Itu, loh. Tadi, katanya Bu Anggia buru-buru ke Ruang Delima, soalnya anaknya sakit," sahut Resa. "Dokter, 'kan, kakaknya. Masa nggak tahu, sih? Katanya, tadi dia ngeluh sesak napas gitu. Kirain bakal dibawa ke IGD. Kapan lagi, 'kan, ngerawat anaknya petinggi rumah sakit?"

"Sakit?" Rean bergumam pelan. "Tapi, nggak dibawa ke IGD. Berarti nggak parah-parah banget, 'kan?"

Resa mengibaskan tangannya. "Kurang tahu, deh. Saya, mah, cuma dengar dari teman yang ada di sana. Untung aja katanya lagi nggak banyak tindakan. Coba aja kalau banyak tindakan. Masa, perawatnya malah sakit, sih?"

Rean tidak menggubris lagi ucapan Resa. Ia memilih untuk membaca kertas yang berada di atas meja. Tercatat pasien yang masuk hari ini. Belum bertambah sejak ia izin beristirahat.

"Atau cuma nyari perhatian, ya? Biasanya, sih, anak baru suka kayak gitu. Mungkin aja, nih, cuma dispepsia atau kecapekan dikit. Baru juga masuk hari Senin kemarin."

"Tapi, katanya lumayan parah. Saturasinya sampai turun. Aku dengar dari temanku yang dinas bareng dia dan kebetulan nolongin, sih."

Rean mendengkus. Beberapa kali, pulpennya dipukulkan ke permukaan meja, menarik perhatian dua orang yang sedang berbincang tersebut. Kedua matanya tampak menatap sinis.

"Kalau kerja jangan ngegosip, Kak. Mendingan rapiin catatan. Masih ada yang kosong, tuh." Rean melirik lembar pengkajian awal. "Kalau nggak lengkap, nanti dimarahin lagi sama Bu Lina."

Perlahan, Rean menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Ia menatap langit-langit instalasi gawat darurat yang terasa kosong, sesuai dengan kondisi ruangan saat ini. Helaan napasnya terdengar.

Zello sakit? Bukannya dia udah dinyatakan sembuh semenjak operasi terakhir?

•to be continued•

A/n

Dua kali update, waktunya menghilang. Ngeng

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang