Chapter 19
Sonder
By saytheutic.
.
."Hadiah buat anak Bunda yang berhasil keluar dari ICCU! Selamat!"
Zello tersenyum lebar, tangannya menerima sepiring apel yang barusan dikupas oleh Anggia. Bukan sesuatu yang spesial, tetapi cukup membuat Zello merasa senang. Setelah berminggu-minggu berada di ruang intensif, bertemu dengan keluarganya adalah hal yang menyenangkan.
Kali ini, Rendra, sang ayah, juga ikut berada di sana. Sesekali meluangkan waktu untuk putra bungsunya. Meski dirinya sering mengunjungi ketika Zello masih terbaring di ruang intensif, tetapi kesibukan yang harus dijalaninya membuat intensitasnya berkurang.
Rean terduduk di sofa. Merasa lelah dengan pekerjannya hari ini. Instalasi gawat darurat yang ramai, kembali harus berdiskusi dengan para dokter spesialis, ditambah dengan kepalanya yang sedang merasa pening. Kamar jaga memang tersedia dengan kasur seadanya, tetapi ruang rawat VIP yang Zello tempati lebih menggoda.
"Rean mau apel juga?" Anggia bertanya, mengalihkan pandangannya pada Rean yang memilih untuk berbaring, menutup mata dengan lengannya.
Rean lantas menggeleng. Ia tidak memiliki nafsu makan sama sekali. Masih terbayang pasien yang datang ke IGD hari ini; seorang remaja yang baru akan berulang tahun esok hari, tetapi malah terbaring di ruang triage merah karena kecelakaan hebat.
"IGD gimana? Ramai?" Rendra yang ganti bertanya.
"Nggak usah ditanya, Yah. Setiap hari juga rasanya ramai. Kaki aku remuk." Rean membalas.
"Kakak nggak mau makan bareng?" Zello bersuara. Ia bangkit dari bed. Dengan perlahan dan sambil menarik tiang infusnya, Zello menghampiri Rean. "Tadi udah makan belum? Gue yakin belum, sih. Pasti nggak sempat."
Rean berdecak pelan. Ia masih harus bersikap baik pada Zello, meski masih ada rasa yang mengganggunya. Perlahan, ia bangkit, duduk dengan posisi sedikit jauh dari sang adik.
"Tadi sempat ngemil sedikit," jawab Rean singkat. Membuang pandangan, enggan menatap manik bulat Zello yang menatapnya lekat-lekat.
"Ngemil doang, bukan makan namanya." Rendra menyahuti. "Daripada tiba-tiba kamu butuh injeksi Ranitidine."
"Nggak perlu, Yah. Serius, deh. Aku juga nggak nafsu makan," balas Rean. Ia menaikkan kakinya ke atas sofa. Rasanya lebih nyaman daripada di kamar jaga, tetapi masih kalah dari kamar tidurnya. Rean ingin pulang, tetapi rasa kantuk mengalahkan niatnya.
"Kakak mau tidur?" Zello ganti bertanya. Ia meraih selimut yang ada di atas bed, kemudian menyelimuti tubuh Rean. "Muka Kakak agak pucat. Istirahat, ya."
Hangat ....
Rean mengulum senyum tipis. Ia membalik badan, hingga posisinya memunggungi Zello. Tangan yang awalnya berada di atas dada menjadi bantalan kepala.
"Kakak mau bantal juga?"
"Berisik. Gue mau tidur."
Zello tertawa pelan. Tangannya perlahan mengusap punggung Rean. Meski tidak boleh terlalu bahagia, tetapi Zello tidak peduli lagi. Keluarganya berkumpul dan hubungan dirinya dengan sang kakak perlahan membaik.
"Bun, Yah." Zello membalik tubuh, menatap ayah dan bundanya yang berdiri tak jauh. "Aku jadi pengin hidup selamanya, deh."
Anggia terkekeh sendiri. Ia menghampiri Zello, memeluk lengan sang putra kemudian menyeretnya untuk duduk di atas bed. "Ada-ada aja mau kamu," balasnya. "Tapi, kalau kamu selamanya jadi anak Bunda, itu bisa."

KAMU SEDANG MEMBACA
Sonder
Ficción GeneralAzello Narendra mungkin merasa bahwa ia sudah hidup sesuai dengan keinginannya. Cita-citanya sudah tercapai, dan Zello dapat menjalani hidupnya yang sempurna tanpa masalah. Tetapi, Rean, kakaknya, yang selalu menganggap Zello sebagai seorang rival...