Chapter 30

3K 324 69
                                    

Chapter 30
Sonder
By saytheutic

.
.
.

Zello masuk ke rumah dengan lesu. Ia bahkan tidak merapikan sepatunya, dan langsung duduk di sofa. Kedua matanya menatap lampu utama yang berada tepat di atas meja tamu. Dimatikan, namun sinar matahari yang masuk dari jendela cukup menerangi.

Kondisi rumah masih cukup sepi. Ayah dan bunda tentu belum pulang, entah kapan mereka akan kembali. Sementara Rean berkata bahwa ia memang tidak akan pulang hari ini.

Helaan napas Zello terdengar berat. Ia cukup kelelahan hari ini. Meski sebenarnya, pekerjaannya memang tidak terlalu banyak. Bahkan, beberapa rekan kerja Zello menyuruh ia untuk tetap duduk di nurse station.

"Lapar banget," keluh Zello. Ia mengubah posisinya hingga benar-benar berbaring dengan kaki di atas lengan sofa. Tangan Zello meraih ponsel yang ada di saku jaketnya. "Bunda pulang jam berapa, sih?"

Perlahan, jemari Zello menggulir layar, mencari kontak Anggia. Namun, berhenti ketika menatap nama Rean. Belum pernah ada percakapan di sana. Bahkan, Zello sangsi, sang kakak akan menyimpan nomornya.

Tanpa menunggu waktu, Zello memilih ruang obrolan dengan Rean. Benar-benar kosong, sama seperti hatinya. Perlahan, kedua ibu jarinya mulai mengetik.

Kak Rean🦁

Kak, pulang jam berapa?

Mau nitip siomay yang di seberang RS, boleh nggak? Nggak pakai saos sama kecap.

Zello kira, tanda centang dua yang ada di bawah pesan tidak akan berubah biru-tanda sudah dibaca. Nyatanya, beberapa menit kemudian, pesan tersebut telah dibaca oleh sang penerima.

Kak Rean🦁

Oke.

"Hah, singkat banget." Zello bergumam pelan. Ia meletakkan ponsel di atas meja tamu. Senyumnya mendadak terbit. "Biarlah, yang penting, pesan gue dibalas."

Perlahan, Zello bangkit. Ia mengulat sesaat, sebelum kembali mengambil ransel yang tergeletak di sebelah sofa. Kalau malam ini Rean pulang ke rumah, kemungkinan Zello bisa menikmati siomay yang sudah diinginkannya sejak pertama kali bekerja di Rumah Sakit Amartya. Membayangkannya lantas membuat Zello meneguk saliva, merasa lebih lapar dari sebelumnya.

Hingga tidak lama, perasaan tidak nyaman mulai menghampiri dada Zello. Perlahan, ia mengusapnya, berharap rasa itu segera menghilang. Meski tadi sudah meneguk obatnya, nyeri yang sesekali muncul tetap saja mengganggu. Zello mungkin sudah biasa, tapi kalau terlalu sering, rasanya tidak enak juga.

"Semoga malam ini lo beneran pulang, ya, Kak." Zello bergumam pelan. Ia menduduki anak tangga dengan kepala bersandar pada dinding. "Kenapa, ya, perasaan gue nggak enak banget?"

•••

Sepertinya, bukan instalasi gawat darurat namanya jika tidak ramai. Mulai dari pasien yang gawat serta darurat, gawat tidak darurat, darurat tidak gawat, sampai pasien yang hanya memiliki keluhan flu. Hampir seluruh brankar terisi.

Rean kira, ia bisa menghela napas lega setelah sempat menangani kasus dua orang bersaudara yang terkena luka bakar di atas sembilan puluh persen. Nyatanya, pasien anak dengan diagnosis cat bites kembali datang. Meski bukan dirinya yang menangani, namun suara tangisan yang terdengar ketika sang anak diberikan antirabies serta antitetanus cukup membuat gendang telinga Rean berdenging.

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang