Chapter 32

3.4K 370 54
                                    

Chapter 32
Sonder
By saytheutic

.
.
.

Meski sudah beberapa kali hampir mengalaminya, namun Zello masih merasa takut dengan kematian. Ia tidak tahu apa yang ada di kepalanya ketika tiba-tiba pasien di bed sebelah mengalami penurunan kesadaran, hingga kemudian berada di tahap henti jantung. Bahkan, meski ditutupi dengan gorden, Zello seolah masih dapat melihat tindakan yang dilakukan di sana, membayangkan dirinya berada di posisi tersebut.

Genggaman tangan Anggia tidak juga mengendur. Meski kemudian tangan Zello tidak lagi membalasnya. Ia tenggelam dalam rasa takut, hingga hampir tidak menyadari keberadaan sang bunda di sisi.

"—pukul 23 lewat empat belas menit."

Suara yang terdengar samar-samar lantas membuat Zello bergidik. Pada akhirnya, tim yang berada di bed sebelah memilih untuk menyerah. Diawali dengan keputusan keluarga yang menghentikan tindakan resusitasi.

Apa ... keluarganya suatu hari nanti akan melakukan hal yang sama?

Pikiran Zello melayang pada masa depan yang suatu hari nanti harus ia hadapi. Rasa sakit yang dialami malam ini mungkin tidak sebesar yang akan dihadapinya nanti. Ditambah, keberadaan Anggia yang membuatnya merasa tenang.

"Bun-da, ngantuk ...." Zello bergumam lirih. Tangan yang semula menggamit jemari Anggia perlahan mulai terlepas. "Aku ... boleh tidur—"

"Jangan," potong Anggia begitu saja. Ia takut, di saat Zello memejamkan mata, kelopak itu tidak mau terbuka lagi.

Helaan napas Zello begitu tenang, meski suasana di IGD cukup riuh. Seolah tidak menghiraukan ucapan Anggia, kelopak Zello perlahan menutup. Mungkin saja, untuk sejenak, Zello dapat beristirahat dari hiruk-pikuk kehidupan. Sebentar saja, ia tidak ingin memikirkan kondisinya, bahkan kondisi Rean.

Mungkin saja, nanti, ketika Zello kembali membuka mata, semuanya akan kembali seperti sedia kala.

•••

"Rencana ORIF-nya besok pagi. Tadi kondisi Rean juga udah stabil, udah nggak muntah lagi. Cuma, yah, tekanan darahnya masih agak rendah, pernapasannya juga agak cepat. Tapi ...." Rendra untuk sejenak tersenyum simpul. Ia meraih jemari Anggia yang terasa dingin. "Tapi, kamu nggak perlu khawatir. Rean pasti bisa ngelewatin malam ini dan besok-besoknya juga."

Anggia belum bisa merasa tenang selama kedua putranya masih terbaring di instalasi gawat darurat. Ia mungkin mengantuk, namun kedua kelopaknya tidak ingin terpejam. Merasa takut hingga tidak dapat diekspresikan lagi. Anggia hanya diam, tidak dapat berpikir jernih.

"Zello ... gimana?"

"Aku nggak tahu," cicit Anggia. Statusnya yang juga seorang tenaga kesehatan seolah tidak ada gunanya. Menjaga sang putra saja tidak bisa. "Kondisinya emang udah mulai stabil, tapi kamu tahu sendiri. Azel ... bisa tiba-tiba drop gitu aja. Bahkan malam ini ... aku nggak pernah tahu. Apa ... aku bukan ibu yang baik buat Azel?"

Rendra lantas menggeleng cepat. Perlahan meraih tubuh Anggia yang rapuh dan memaksanya untuk duduk di kursi panjang. Baginya, tidak ada yang bersalah. Karena pada dasarnya, kondisi Zello memang dapat berubah dengan cepat. Meski sudah ada pertanda, namun laki-laki itu lebih memilih untuk diam.

"Aku mau lihat Rean dulu." Anggia memutuskan untuk kembali bangkit. "Dia pasti juga butuh aku, 'kan?"

Rendra tidak menahan Anggia sama sekali. Perlahan ikut bangkit, mengikuti langkah sang istri. Memasuki zona tempat Rean terbaring, yang cukup ramai karena banyaknya pasien yang masuk ke sana.

Kedua netra Anggia memperhatikan Rean lekat-lekat. Bergidik karena luka di beberapa area tubuhnya. Untuk sejenak, Anggia merasa takut.

"Bunda ...." Suara panggilan itu begitu lirih. Anggia lantas mendekat, mengusap lengan Rean dan meraih jemarinya yang dingin. Digenggamnya dengan erat, hingga Rean membalas, meski tidak begitu kuat. "Bunda ... sakit."

Selama ini, Rean tidak pernah mengeluh. Bahkan, ketika kondisi tubuhnya sedang tidak baik-baik saja. Selalu bersikap kuat, namun kali ini tidak. Wajahnya tampak pucat, karena sakit dan juga syok yang dialami. Luka-luka yang ada di tubuhnya sudah dibersihkan, termasuk di area kepala. Kasa yang awalnya memerah karena darah, kini sudah tidak lagi.

Anggia duduk di kursi, menyejajarkan dirinya dengan wajah sang putra. Ia ingin mengusap surainya, namun takut Rean akan merasa sakit. Tangannya kemudian beralih pada lengan.

"Bun-da, aku mau pulang. Makanan ... makanan buat Zello ... di mana?" Rean meracau, terdengar tidak begitu jelas karena masker oksigennya. "Mau ... pulang."

"Zello juga ada di sini, Yan. Sekarang ... dia sama kayak kamu, kalian harus sama-sama berjuang." Anggia berucap pelan. "Kamu sama adek kamu ... harus sama-sama bisa keluar dari sini, ya. Jangan terlalu lama. Jangan buat Bunda semakin takut."

Rean mengerjap beberapa kali. Merasa tidak nyaman karena nyeri kepala. Beruntungnya, hasil CT-Scan kepala menunjukkan tidak ada perdarahan di otak. Rean mungkin akan membaik seiring dengan bergantinya hari.

"Bunda, jangan ke mana-mana," ucap Rean pelan. "Jang-an pergi, jangan ke mana-mana."

"Bunda bakal tunggu kamu sampai kondisi kamu benar-benar membaik," balas Anggia. Ia berusaha tersenyum. Aroma antiseptik tercium ketika ia menarik napas panjang. Agak merasa sedikit sesak karena kondisi kedua putranya. "Makanya itu, kamu nggak boleh nyerah dulu. Tindakan besok ... juga akan berhasil. Kondisi kamu bakal membaik. Bunda janji."

Rean mengerang pelan. Merasakan kantuk yang begitu dalam. Jika suara Anggia tidak terdengar, ia mungkin akan tertidur sejak tadi. Berusaha menyunggingkan senyum, meski lebih mirip dengan ringisan.

"Bunda janji ... bakal ngasih yang terbaik buat kamu. Tapi, kamu juga harus janji ke Bunda. Kamu harus bisa terus bertahan biar bisa nemenin Bunda."

Iya, Bunda.

Aku janji.

•••

Rasa sakit yang Zello rasakan tidak juga berkurang. Bahkan, ketika Rendra tiba di sana, Zello tidak dapat menyunggingkan senyumnya yang biasa. Ringisan secara tidak sengaja keluar begitu saja dari bibir.

"A-yah, maaf." Bisikan Zello terdengar lirih. "A-ku takut ... nggak bisa ... sampai besok."

"Jangan ngomong begitu. Kamu pasti bisa bertahan." Rendra tidak dapat menahan kesedihannya, meski tidak juga ia tunjukkan. Kedua maniknya memerah.

"Sa-kit. Aku ... nggak mau ... nggak bakal bisa." Tangan Zello yang awalnya hendak meraih tangan Rendra mulai melemah. Napasnya terasa sesak, meski sudah dengan bantuan. Kepala yang terasa pening datang bersamaan dengan nyeri di dada.

Zello tidak yakin ia dapat melewati hari-hari berikutnya. Bahkan mungkin ... ia tidak akan dapat melihat matahari pagi ini. Rasa sakit yang menghujam membuat Zello tidak ingin terus berjuang. Zello tidak masalah jika pada akhirnya ia harus pergi malam ini. Seluruh keinginannya sudah tercapai. Meski Zello hanya merasakannya untuk sesaat.

Sinar di kedua mata Zello meredup. Ia berusaha untuk tersenyum. Tidak memedulikan rasa sakit yang terus menyiksa.

"Ma-af ... ma-af ... ma-af."

Maaf, Bun.

Maaf, Yah.

Maaf, Kak.

Mungkin ... hidup aku emang cuma sampai di sini.

Lalu, detak jantungnya tidak lagi terdeteksi.

•to be continued•

Maaf :)

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang