Chapter 7

3K 392 39
                                    

Sonder
Chapter 7
By saytheutic

.
.
.

Pagi hari tidak pernah menjadi waktu yang buruk. Setidaknya, begitu menurut Zello. Apalagi ia baru akan bekerja siang hari nanti. Bundanya sudah berangkat bersama dengan ayahnya. Zello duduk di ruang makan sendiri. Sementara Rean ... Zello tidak mendengar kabar kakaknya, bahkan setelah laki-laki itu sampai ke rumah tadi malam.

Sembari mengaduk teh hangatnya, Zello duduk. Tidak tahu ingin melakukan apa, sebelum akhirnya memutuskan untuk mandi pukul sebelas nanti siang. Sarapan yang masih tersisa rasanya enggan untuk dihabiskan.

Lagi-lagi keluhannya muncul.

Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali Zello merasa benar-benar sehat. Semalaman, ia tidak bisa tidur kembali karena sesaknya sesekali muncul. Takut ketika ia terpejam, sistem pernapasannya berhenti bekerja dan tidak ada yang menyadari.

Setidaknya, sampai pukul tiga pagi. Ketika ponselnya kehabisan daya, Zello memilih untuk memasrahkan nasibnya dan tertidur. Daripada hari ini tidak memiliki tenaga sama sekali.

Sialnya, pukul lima pagi, masih terasa sangat mengantuk, Anggia sudah membangunkannya. Mengingatkan pada kewajiban yang harus ditunaikan. Meski menyadari putranya itu masih tampak mengantuk, tetapi Anggia hanya tersenyum tipis.

"Berangkat jam berapa, ya, nanti?" Zello bergumam pelan, mengaduk sereal cokelatnya. Tak lama, ia mendorong mangkuknya dan membaringkan kepala di atas meja.

Suara langkah kaki kemudian kembali membuat Zello menegak. Ia menoleh, menatap keberadaan Rean tak jauh darinya. Rean tidak bersuara sama sekali ketika ia menuang air ke dalam gelas.

"Kak," sapa Zello. Ia tersenyum lebar. "Baru bangun? Mau sarapan? Mau dimasakin apa?"

Rean meneguk airnya, melirik Zello sesaat sebelum menatap ke luar jendela yang ada di dekat wastafel. Ketika airnya tandas, Rean meletakkan gelas di atas meja. Tidak ada minat untuk menjawab pertanyaan Zello.

"Lo nggak ke rumah sakit? Zello bertanya sekali lagi.

"Nanti siang," jawab Rean. Ia menarik kursi dan duduk di sana. Mengambil apel yang ada di atas meja, tapi tidak ingin berbicara dengan Zello.

Suasana hening di antara mereka. Rasanya, Zello ingin berbicara mengenai keluhannya tadi malam. Ia ingin Rean tahu, tapi seperti ada dinding yang menjulang di antara mereka.

Zello lantas menghela napas panjang. Mungkin, Rean akan tahu ketika kematiannya tiba. Tanpa perlu ia beritahu sedikit pun. Setelahnya, Rean dapat menjalani hidup tanpa gangguan sama sekali.

"Kak," ucap Zello setelah sekian lama diam. "Lo mau sarapan? Mau gue masakin? Lo mau makan apa?"

Rean menggeleng cepat. Ia bangkit dan membuang apel yang sudah tinggal bagian tengahnya. Tidak ada nafsu untuk sarapan pagi ini.

"Lo belum makan sejak semalam, 'kan?" Zello kembali bertanya. Wajah sang kakak tampak pucat dan itu membuatnya khawatir. "Lo harus makan. Kalau nggak makan, nanti lo bisa sakit. Lo juga sehari-hari ada di rumah sakit. Kalau daya tahan tubuh lo menurun, bisa-bisa—"

Decakan Rean terdengar, membuat Zello berhenti berbicara. "Udah?" Rean bertanya. Nada suaranya menusuk, membuat senyum Zello memudar. "Nggak perlu, Zel. Gue bisa makan nanti."

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang