Chapter 18

3.8K 418 25
                                    

Chapter 18
Sonder
By saytheutic

.
.
.

Ketika Zello membuka kedua matanya, hal yang dilihatnya masih sama seperti terakhir kali. Ia melirik ke sekitar, mengerang pelan karena lehernya yang terasa sedikit sakit dan tubuhnya yang kaku. Perlahan, Zello menghela napas panjang.

Ketenangan yang Zello rasakan hanya sesaat, karena kemudian, netra legamnya menangkap sosok Rean, berdiri di sebelahnya sambil memperhatikan monitor. Masih menggunakan scrub, meski tanpa jas putihnya. Zello mengernyit heran, menganggap bahwa apa yang dilihatnya hanya halusinasi. Sedikit berpikir mungkin kini dirinya juga dirawat oleh spesialis penyakit dalam. Walau tidak tahu apa indikasinya.

"Kak Rean?" Zello memanggil, agak berbisik. "Lo ... ngapain di sini?"

"Oh, lo udah bangun." Rean mengalihkan pandangannya dari monitor. Wajahnya tampak datar, tanpa emosi sama sekali. Suaranya juga terdengar demikian. "Apa ... yang lo rasain sekarang?"

Zello mengerjap beberapa kali. Sedikit kaget dengan pertanyaan Rean. Sebelumnya, tidak pernah ia mendengar pertanyaan semacam itu dilontarkan oleh sang kakak. Namun, kemudian, senyumnya merekah.

Apa semua ini hanya mimpi belaka?

Jika iya, rasanya Zello tidak ingin terbangun lagi.

"Lo kesurupan, ya, Kak?" Bukannya menjawab, Zello malah balas bertanya. Tangannya terangkat, hendak meraih tangan sang kakak. Tetapi, Rean langsung menjauhkan tangannya.

Zello lantas berdeham pelan. "Hmmm, gimana, ya? Gue masih agak ngerasa lemas sama ngantuk banget. Rasanya dada gue masih agak berdebar juga. Mungkin ... karena gue terlalu senang?"

"Nadi lo takikardi." Rean menunjuk monitor dengan jemarinya. "Lihat. Gue baca hasil EKG lo nunjukkin atrial fibrilasi. Bisa-bisa-"

"Mengarah ke hal yang lebih parah, ya?" Zello memotong ucapan Rean. Ia tertawa pelan. "Stroke? Mungkin nggak?"

Rean mengangkat kedua bahu, tidak ingin menjawab. Rasa canggung masih menguasai dirinya. Namun, sebisa mungkin Rean menghilangkan perasaan tersebut. Bersikap baik pada Zello berarti juga membahagiakan bundanya.

"Nggak tahu."

"Iya, nggak ada yang tahu." Zello berucap lirih. "Ngomong-ngomong, Kak. Lo ... udah maafin gue?"

Kedua alis Rean tertaut heran. "Maafin lo?" Ia balas bertanya.

"Lo paham maksud gue." Zello menarik napas panjanh. "Atas kehadiran gue ... apa lo udah mau nerima?"

Rean terdiam. Bibirnya terkatup rapat. Tidak mungkin ia memberi tahu jika sikapnya saat ini merupakan permintaan Anggia.

"Ah, lo nggak perlu jawab." Zello tersenyum hangat. Perlahan, ia mengangkat tangannya, berniat mengajak Rean untuk berjabat tangan, tetapi kakaknya itu tidak mengerti. Pada akhirnya, Zello hanya mengusap lengan Rean perlahan.

"Ternyata, gini, ya, rasanya." Zello mendesah pelan. "Ternyata ... rasanya bahagia banget diperhatiin sama seorang kakak. Gue kira, gue nggak akan pernah bisa tahu rasanya."

"Ya."

"Makasih, ya, Kak." Kedua manik mata Zello tampak berkaca-kaca. Sinarnya tampak lembut, menambah kesan indah di keduanya. "Gue rasa, kalau gue mati sekarang juga nggak masalah. Keinginan gue udah tercapai, dan gue ngerasa hidup gue udah cukup."

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang