Chapter 15

3.1K 381 30
                                    

Sonder
Chapter 15
By saytheutic

.
.
.

Zello tidak tahu sudah lama berbaring di ruang intensif. Apa sehari? Dua hari? Atau malah berminggu-minggu? Tidak ada penunjuk waktu ataupun jendela yang mengarah keluar, hingga rasanya Zello mengalami disorientasi.

Beberapa kali, Zello mengerjap. Tenggorokannya terasa sakit dan kering, efek penggunaan endotracheal tube, yang baru dilepas kemarin. Ditambah lagi dengan tubuhnya yang terasa lemah, hingga rasanya untuk bergerak saja tidak sanggup.

"Ghav." Zello memanggil. Kepalanya agak sedikit ditinggikan, meski kemudian pening menyerang dan membuat Zello menyerah.

"Kenapa, Zel? Lo butuh apa?" Ghavi membalas. Mencuci tangan dengan handrub yang ada di sudut bed dan berjalan mendekat.

Zello berusaha menelan salivanya. Terasa sakit, hingga membuatnya meringis. Seolah alat tersebut masih ada di tenggorokannya, hingga Zello takut untuk melanjutkan omongannya. Dengan bisikan, ia akhirnya berkata, "Tanggal ... tanggal berapa sekarang?"

"Sebentar ...." Ghavi melirik ke sekitar, menghitung hari. "Hm, tanggal 3 September. Kenapa?"

Kedua kelopak Zello terpejam sesaat, sebelum akhirnya kembali terbuka. Tampak berkaca-kaca, antara menahan sakit atau ada perasaan tertahan yang kemudian membuatnya merasa mual. Merasa tidak nyaman dengan posisinya, Zello bergerak gelisah.

Bulan sudah berganti dan ia masih terbaring di sana.

"Ulang tahun Kak Rean ... tanggal satu kemarin." Zello berujar lirih. Tangan kirinya yang bebas perlahan mengusap wajah. Agak sedikit menyalahkan diri sendiri karena melewatkan hari penting tersebut.

Ghavi lantas berdecak pelan. Ia mungkin bukan siapa-siapa, tapi ketika mengingat ucapan Rean tempo hari ... rasanya Zello tidak perlu bersikap baik seperti itu. Beruntung, yang bersangkutan justru tidak ada di sana saat itu.

"Udah, nggak apa-apa. Nggak usah diingat kalau bisa. Lo juga nggak pernah ingat ulang tahun lo," ujar Ghavi. "Lagian juga, lo masih di sini. Belum tahu juga kapan bakal keluar. Lo mending fokus ke diri lo sendiri."

Zello menggeleng cepat. Ia masih mengingat ucapan Rean yang berharap tidak melihatnya lagi. Masih juga teringat ingin memiliki hubungan yang baik dengan sang kakak, setidaknya hanya untuk satu momen saja.

"Gue udah nyiapin ... semuanya sejak lama." Zello membalas, tidak peduli dengan raut wajah Ghavi yang tampak tidak suka. "Maaf ... gue cuma mau coba sekali lagi."

"Apa menurut lo bakal berhasil?" tanya Ghavi, merasa tidak tega jika harus berkata yang sebenarnya. Wajah Zello yang pucat justru menunjukkan keinginannya yang kuat. Kemudian, Ghavi menarik napas panjang. "Lo jangan pikirin masalah itu dulu. Sekarang, yang penting diri lo sendiri. Lo harus bisa keluar dari sini."

"Dalam keadaan apapun?"

"Dalam keadaan hidup, Zel!" sergah Ghavi. "Bukan dalam keadaan apapun. Kalau lo keluar tapi nggak bernyawa, sama aja. Lo nggak bakal punya kesempatan buat perbaikin hubungan lo dan kakak lo, kalau lo keluar dari sini dalam keadaan mati."

Zello tersenyum tipis. Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali ia merasa ada seseorang yang benar-benar mencemaskan keadaannya, selain ayah, bunda, dan dokternya. Masih berharap di sisi Zelloa da sang kakak, tapi rasanya sahabatnya saja sudah cukup.

"Gue pengin sekali aja dipanggil 'adek'." Zello tiba-tiba melanjutkan.

"Selama kita dinas dulu, bukannya lo sering dipanggil 'adek'?" Ghavi membalas, terkekeh geli sendiri mengingat masa lalunya, yang meski menyenangkan, namun tidak mau dirasakan kembali. "'Dek, lepas infus!' atau 'dek, lepas kateter', 'dek, kasih obat', 'dek, ke lab, ya'. Hih, udah puas kalau gue, mah."

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang