Chapter 22

2.6K 335 36
                                    

Chapter 22
Sonder
By saytheutic

.
.
.

"Pulang! Yeay!" seru Zello, tepat setelah infus dilepaskan dari tangan kirinya. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di sisinya, sebelum bangkit dari bed. Senyumnya tercetak lebar di wajah. Pada akhirnya, setelah penantian yang cukup lama, Zello bisa pulang ke rumah.

"Tunggu obat dulu sebentar, ya, baru boleh pulang."

Zello menunjukkan cengiran lebarnya. Menunjukkan sikap hormat dengan tangan kanan. "Siap, Kak!" ucapnya, tetap semangat meski sudah tidak sabar.

"Terima kasih, ya." Anggia berujar, tepat ketika perawat yang melepas infus izin kembali ke nurse station. "Nggak sabar banget buat pulang, sampai nggak ingat kondisi sendiri. Kamu semangat banget, ya."

"Bunda nggak tahu rasanya," balas Zello. Nada suaranya riang. "Berminggu-minggu yang aku lihat cuma dinding rumah sakit. Hal yang aku rasain cuma rasa takut, sampai sakit juga nggak terasa lagi. Tiap hari, selama di sini, aku mikir kalau akhir hidupku sebentar lagi. Pas dikasih tahu aku bisa pulang, rasanya ... senang banget. Aku berhasil selamat."

Anggia lantas balas tersenyum. Ia mengusap puncak kepala Zello dengan lembut. "Bunda nggak habis pikir sama kamu. Bertahun-tahun, Bunda masih nggak bisa sama kayak kamu, selalu bisa positif."

"Umur aku ... dulu pernah diprediksi nggak bisa ngelewatin dua puluh, 'kan? Banyak yang begitu." Zello tertawa pelan. Tangan Zello menarik tubuh Anggia, hingga terduduk di sisinya. Kepalanya kemudian disandarkan pada pundak sang bunda. Merasa senang karena memiliki orang tua yang membantunya untuk berjuang.

Jika tidak ... Zello tidak tahu apa ia masih sanggup untuk bertahan atau tidak.

"Itu cuma perkataan manusia. Kita nggak pernah tahu ke depannya gimana. Sekarang, kita juga cuma bisa berusaha, 'kan?"

"Iya, karena Bunda sama ayah, aku bisa terus bertahan. Kalau aja Bunda ngebuang aku setelah aku didiagnosis sakit ... mungkin umurku nggak akan sampai sepuluh tahun, apalagi dua puluh."

"Ngaco kamu." Anggia melingkarkan lengannya di punggung Zello, sementara sebelah tangannya lagi mengusap puncak kepala sang putra dengan lembut. "Bunda sayang sama kamu. Nggak mungkin juga Bunda nyia-nyiain rezeki yang udah dikasih ke Bunda."

Zello terkikik geli karena ucapannya sendiri. Ia lantas kembali menegakkan tubuh. Dengan lembut, meraih tangan sang bunda yang hangat, tidak seperti tangannya. Selalu, Zello bersyukur karena memiliki keluarga yang begitu baik.

Dirinya memang tidak seperti anak di luar sana. Ada banyak hal yang membuat Zello merasa terkekang. Meski tampak bahagia, tetapi pikiran Zello selalu pelik.

Tidak ada yang tahu, bahkan orang terdekatnya sekalipun. Jika Zello tidak bercerita, mungkin orang-orang akan menganggapnya manusia sempurna yang tanpa masalah sama sekali. Lagipula, mana mungkin ia masih bisa tersenyum meski tahu kematian bisa menjemputnya secara tiba-tiba?

"Makasih, ya, Bun," bisik Zello lirih. "Menjadi anak Bunda adalah salah satu hal yang paling indah di hidup aku. Aku nggak pernah kepikiran kalau dilahirin dari rahim orang lain. Mungkin ... aku nggak akan sebahagia saat ini."

Anggia tidak bisa menahan air matanya. Ia mengangguk perlahan. Tangannya balik menggenggam tangan Zello yang terasa dingin.

"Terima kasih juga karena udah jadi anak Bunda, Zel." Anggia membalas, sama lirihnya. Ia tidak dapat membayangkan jika suatu hari nanti kehilangan sang putra kesayangan. Dunianya mungkin akan hancur seketika. "Kita berjuang sama-sama, ya. Buat kamu."

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang