Sonder
What if
by saytheutic.
.
.Ada beberapa hal yang tidak pernah ada di pikiran Zello sebelumnya. Untuk sekian lama harapannya terpendam, ia tidak pernah berpikir bahwa Rean akan berada di sisinya dengan kepala yang ditidurkan, tepat ketika pertama Zello kembali membuka kedua mata. Berusaha meraih kesadarannya kembali, Zello melirik ke sekitar.
Masih di tempat yang sama, namun dengan cerita yang berbeda.
"Kakak?" Jemari Zello bergerak, hendak menyentuh surai legam Rean, namun terhenti ketika kakaknya itu tampak terganggu. Hingga kemudian, ia mengangkat kepala, mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya tersenyum tipis.
"Hai." Rean berucap. Suaranya terdengar serak. Tangan kirinya lalu mengusap kedua netra yang memerah. Entah kapan, Rean pada akhirnya berhasil tertidur setelah berhari-hari terjaga, menunggu sang adik. "Gimana?"
Zello balas tersenyum, agak heran dengan pertanyaan singkat Rean yang tidak biasa. Netranya lalu menangkap tangan kanan Rean yang dibebat menggunakan elastic bandage. Ada banyak hal yang Zello lewatkan setelah malam itu.
"Gue yang seharusnya nanya begitu. Lo gimana?" Zello balik bertanya. "Lo baik-baik aja? Tangan lo ... gimana? Masih sakit? Maaf, ya. Karena nurutin kemauan gue—"
Rean tertawa, memotong ucapan Zello begitu saja. Sorot mata lembut terasa begitu hangat. Senyum tipis yang bahkan tidak pernah Zello pikirkan akan terbit, kini terlukis.
"Nggak ada masalah karena gue masih punya tangan kiri," jawab Rean kemudian. Ia menatap tangan kanannya. Meski rasanya begitu sulit ketika harus beraktivitas tanpa tangan dominannya, tetapi Rean masih dapat mengatasi hal tersebut. "Lo sendiri ... apa yang lo rasain sekarang?"
"Senang."
"Bukan itu. Ada keluhan? Lo ingat mulai kemarin—"
"Gue dikonsulin ke internis, 'kan? Karena hasil kreatinin? Ah, setelah ini pasti bakal ada keributan antara kardiologi dan internis." Zello terkekeh geli. Kedua manik matanya kemudian beralih pada langit-langit kamar. "Makin aneh-aneh aja hidup gue. Sampai kapan, ya?"
"Sampai usia delapan puluh, 'kan?"
"Lucu rasanya dengar Kak Rean ngomong optimis begitu." Zello berucap pelan.
Rean sedikit memiringkan kepala, menatap Zello. Senyum penuh keheranannya terbit. Terkadang, Rean masih tidak dapat mengerti dengan maksud dari ucapan Zello. Bertahun-tahun komunikasi yang buruk ternyata begitu berpengaruh.
Sampai saat ini, Rean mungkin saja masih tidak dapat mengerti sang adik sepenuhnya.
"Maksudnya?" Rean kembali bertanya.
"Beberapa waktu lalu, lo mungkin nggak akan ngomong begitu. Ingat? Lo selalu bicara kalau lo berharap gue hilang dari hidup lo, 'kan?"
Rean untuk sesaat terhenyak, kemudian menunduk. "Maaf," ucap Rean lirih. Ia bahkan tidak berani menatap mata Zello sedikit pun.
"Gue nggak masalah." Zello menggamit lengan Rean. Agak sedikit membuat laki-laki itu meringis. "Gue nggak mau ingat masa lalu lagi. Karena sekarang ... Kak Rean yang sekarang ada di samping gue ... udah beda, 'kan? Lo sekarang ... mau nerima gue sebagai adek lo, 'kan?"
Rean tidak langsung berbicara. Rasanya begitu salah jika ia harus melupakan masa lalu begitu saja. Begitu lama, hingga Rean merasa bahwa seharusnya Zello menyimpan dendam padanya.
"Gue nggak marah sama lo, kalau itu yang lo pikirin." Zello melanjutkan. "Hidup gue terlalu singkat rasanya buat nyimpan perasaan nggak berguna itu. Apa yang ada di pikiran gue cuma satu; gimana caranya hubungan kita bisa membaik sebelum waktu gue habis."
"Apa gue bisa ganti semuanya? Bertahun-tahun lamanya, rasanya ...."
"Tentu." Zello tersenyum lebar. Berusaha bangkit. "Kita ulang semuanya dari awal, ya?"
Rean tidak dapat menahan senyumnya. "Ya," balasnya. "Sebisa mungkin, gue akan jadi kakak terbaik buat lo."
Zello terkekeh geli. "Lo selalu jadi kakak yang baik buat gue." Helaan napas yang begitu tenang kemudian berembus.
"Terima kasih, ya, Kak, karena udah mau mengabulkan permintaan gue." Suara Zello terdengar begitu lembut, seolah ia sudah siap untuk pergi kapan saja. "Seenggaknya, satu harapan gue udah tercapai."
Tangan Rean terangkat, mengusap puncak kepala Zello.
"Terima kasih juga ... karena udah mau ngasih kesempatan buat gue perbaikin semuanya."
•what if•
A/n
Ahahahaha aku masih hidup wkwkwk. Rasanya agak susah buat merangkai kata. Selain karena kesibukan aku, rasanya minatku mulai hilang buat terus ada di dunia kepenulisan. Mungkin juga, karena aku cukup capek (?) Wkwk.
Tapi, yah, bisa dibilang, cerita ini berkesan banget buat aku. Waktu tiga bulan dalam menulis cerita ini, waktu-waktu stres aku sebelum kerja, bolak-balik rs karena pas itu aku berbulan-bulan sakit, ditambah banyak kegagalan yang cukup bikin aku ... hancur wkwkwk.
Sekarang, mungkin aku bakal coba kembali. Sedikit-sedikit, walau rasanya agak berat.
Btw, bentar lagi aku 25 :) masih tahun depan sih.
Aku bikin ultah zello sama kayak ultahku wkwk. Jadi, mari kita rayakan bareng tahun depan (?)
Sekian :)

KAMU SEDANG MEMBACA
Sonder
General FictionAzello Narendra mungkin merasa bahwa ia sudah hidup sesuai dengan keinginannya. Cita-citanya sudah tercapai, dan Zello dapat menjalani hidupnya yang sempurna tanpa masalah. Tetapi, Rean, kakaknya, yang selalu menganggap Zello sebagai seorang rival...