Sonder
Chapter 3
By saytheutic.
.
."Gimana hari pertama kamu kerja? Lancar?" Anggia yang duduk di seberang Zello, bertanya. Agak heran karena putra bungsunya itu sedari tadi diam. Tidak seperti biasanya, di mana makan malam yang lebih sering diisi oleh keduanya, terasa lebih berwarna.
Zello memaksakan seulas senyum. Sebenarnya, ia merasa senang karena pada akhirnya dapat bekerja setelah setahun lulus dari kuliahnya. Zello juga merasa senang karena ia dapat berinteraksi dengan pasien-pasiennya. Senior yang ada di ruangan pun memperlakukannya dengan cukup baik.
"Lancar, kok," jawab Zello singkat. Sendoknya diketukkan ke atas piring beberapa kali. Meski menjawab begitu, kepalanya tampak tertunduk. "Hm, mungkin aku harus belajar lebih banyak lagi karena ... yah, udah cukup lama waktu dari aku lulus kuliah sampai saat ini."
Tanpa sadar, senyuman Anggia tidak lagi terukir. Rautnya khawatir, menyadari bahwa ada sesuatu yang Zello tutupi. Ia bahkan tidak dapat melihat kedua manik legamnya. "Kamu nggak kelihatan senang," ungkap Anggia.
Secara susah payah Zello menelan makanannya. Ia tertawa pelan. Sepertinya, raut wajah Zello tidak dapat ditutupi. Mau berusaha berbohong pun Anggia tampak lebih paham, bahkan dibanding oleh diri Zello sendiri.
"Bunda nggak ngomong apa-apa, 'kan, soal aku?" tanya Zello. "Ke kepala ruangan atau ke rekan kerja aku. Atau ke siapa pun yang ada di rumah sakit."
"Ngomong tentang apa?" Anggia balas bertanya, walau sebenarnya, ia paham maksud dari pertanyaan Zello. Pandangan teduhnya berusaha menatap wajah Zello. Lalu, embusan napasnya terdengar lesu. "Ah, Bunda cuma ngomong masalah kamu bakal dinas di ruangannya Ayu, kok. Nggak lebih, nggak kurang."
Zello menggigit bibir. Pada akhirnya, kepalanya kembali terangkat. "Kalau soal ... kondisi aku?" Suara Zello mengecil di akhir kalimat. "Bunda nggak ngomong apa-apa soal itu, 'kan?"
"Bahkan kakak kamu belum tahu lebih jauh soal masalah itu," ujar Anggia. Ia merapikan piringnya yang sudah kosong. Perlahan bangkit dari kursinya, dengan kedua mata yang masih menatap Zello dalam-dalam.
Putranya itu mungkin khawatir, begitu pikir Anggia.
"Ah, soal Kak Rean." Zello ikut bangkit. Ia tidak memiliki nafsu lagi untuk menghabiskan makanannya. "Aku tadi ketemu dia."
"Oh." Anggia berhenti bergerak. Hanya sesaat, karena kemudian ia berjalan menuju wastafel. "Kamu nanya kapan dia pulang? Berhari-hari kerjaannya cuma di rumah sakit. Nggak ada keinginan buat ketemu sama bundanya apa, ya?"
Zello menggeleng perlahan. Sapaannya saja tadi tidak dibalas sama sekali. Bahkan secara tidak langsung, Rean mengusirnya begitu saja.
Sejak dahulu ... masih sama. Rean terlalu memandangnya sebagai rival. Jarak mereka tidak terlalu jauh, tetapi keduanya tidak akur sama sekali. Zello sebagai anak bungsu yang tiba-tiba hadir, tanpa keinginan Rean untuk memiliki seorang adik.
"Aku nggak tahu," jawab Zello jujur. "Kak Rean ... masih sama, ya? Dia masih nggak suka sama aku?"
"Rean itu terlalu serius dari dulu. Tapi, ya, dia tetap seorang kakak. Dia juga sayang, kok, sama kamu."
"Mana ada?" Zello berdecih pelan. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Selalu ada perasaan tidak menyenangkan setiap kali membicarakan hubungan buruknya dengan sang kakak. "Sampai kapan, ya, aku sama Kak Rean begini? Masa iya, sampai aku—"
"Ngomong apa, sih, kamu?" Anggia memotong ucapan Zello. Ia tidak suka ketika Zello mulai membicarakan hal yang tidak-tidak mengenai dirinya sendiri. "Mendingan kamu ke kamar, minum obatnya, terus istirahat. Muka kamu udah pucat banget. Besok kamu juga masih dinas, 'kan? Besok masuk apa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/344161219-288-k36091.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sonder
General FictionAzello Narendra mungkin merasa bahwa ia sudah hidup sesuai dengan keinginannya. Cita-citanya sudah tercapai, dan Zello dapat menjalani hidupnya yang sempurna tanpa masalah. Tetapi, Rean, kakaknya, yang selalu menganggap Zello sebagai seorang rival...