Special Chapter - Memories
Sonder
By saytheutic.
.
.Rean tidak pernah merasa benar-benar lelah seperti hari ini. Dengan embusan napas yang berat, ia duduk di kursi teras. Melepas sepatu tanpa semangat, sebelum menimpannya di rak. Rasa lapar yang cukup menyiksa ditambah banyaknya pasien hari ini cukup membuat Rean bisa ambruk begitu saja ketika sampai di kamar.
Ketika membuka pintu ruang tamu, suasana gelap langsung menyapa. Suara piano terdengar samar-samar dari ruang keluarga. Rean menekan saklar, memperhatikan sekitar. Jarang ia tidak mendapati keberadaan Zello di sana.
Hingga kedua netranya menangkap sebuah kartu yang tergeletak di atas meja tamu. Rean duduk di sofa, lalu meraihnya. Membaca nama yang tertera di sana, yang ternyata adalah milik Zello.
"Bisa-bisanya KTP ditinggalin di atas meja," gumam Rean pelan. Ia membalik kartu, hendak mengembalikannya ke atas meja tamu, hanya saja berhenti ketika melihat stiker hologram yang terpasang di sana, tanda bahwa sang adik mendaftar sebagai pendonor organ.
Untuk sesaat, Rean terkesiap. Ia mengerjap beberapa kali. Tidak menyangka dengan keputusan yang diambil Zello.
"Oh, Kak Rean. Hai!" Suara piano berhenti terdengar disusul oleh suara Zello. Adiknya itu tampak melangkah dengan ringan, menghampiri Rean yang masih terduduk di sofa. "Baru pulang? Gue udah siapin makanan di ruang makan. Khusus buat lo. Habisin, ya!"
Rean berdeham pelan. "KTP lo. Disimpan," ucapnya singkat. Ia memberikan kartu tersebut pada Zello.
"Oh, ya. Gue lupa. Tadi, baru aja iseng masangin stiker donor. Terus gue tinggal." Zello terkikik geli.
"Lo daftar jadi pendonor organ?" Rean bertanya. "Kenapa?"
"Kenapa, ya?" Untuk sejenak, Zello menerawang, melirik langit-langit. "Ah, mata gue bagus, 'kan? Lihat, deh."
Mau tidak mau, Rean mengangguk pelan. "Terus?"
"Dunia ini juga indah, loh. Tapi sayangnya, nggak semua orang bisa nikmatin hal yang sama. Gue pengin ngasih kesempatan ke orang lain buat ngeliat dunia ini. Biar mereka juga punya pendapat yang sama kayak gue," jelas Zello. Ia kemudian saling menempelkan kedua telapak tangannya. "Pasti seru, bisa berbagi kebahagiaan sama orang lain."
"Jadi, lo udah siap mati?"
"Udah, dong. Masa, udah bertahun-tahun, tapi belum siap juga?"
Rean memperhatikan Zello lekat-lekat. "Serius?" Ia kembali bertanya.
"Ah, ya ...." Senyum Zello sontak luntur. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yah, siap nggak siap, intinya harus siap, 'kan?"
"Lo takut?"
"Gue takut kalau gue mati, tapi nggak ada bunda, ayah, atau lo di samping gue." Zello berdeham. "Gue nggak mau mati sendiri tanpa keluarga gue."
Lalu, Zello bangkit. "Udah, makan sana. Gue mau lanjut main lagi. Lo mau coba belajar main piano juga?"
"Malas banget." Rean membalas. "Nanti aja, kalau masih dikasih waktu, lo ajarin gue."
Senyum Zello terulas lebar. "Oke! Luangin waktu lo, ya. Gue bakal ajarin lo. Biar kalau gue nggak ada nanti, masih ada yang bisa main."
Rean lantas balas tersenyum. "Oke."
•••
Nyatanya, sampai Zello berpulang, waktu tersebut tidak pernah terjadi.
•Memories - end•
A/n
Baru end tapi udah kangen :") udah agak lama kepikiran bagian ini, tapi gak keturutan. Ya udah lah
Btw, kamu suka cerita yang gimana, sih? Masih di ranah brothership dan sicklit wkwk siapa tau aku dapat ide.
Bisa dishare di sini!
Rasanya hampa yah karena gak update lagi tengah malam gini. Hehehehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Sonder
قصص عامةAzello Narendra mungkin merasa bahwa ia sudah hidup sesuai dengan keinginannya. Cita-citanya sudah tercapai, dan Zello dapat menjalani hidupnya yang sempurna tanpa masalah. Tetapi, Rean, kakaknya, yang selalu menganggap Zello sebagai seorang rival...