Chapter 13

4.1K 492 82
                                    

Sonder
Chapter 13
By saytheutic

.
.
.

Rean tidak dapat terpejam. Pada akhirnya, ia memilih untuk di duduk di ruang keluarga, menyalakan film kartun yang sering ditontonnya jika sedang tidak berada di rumah sakit. Meski tidak menyimak dan hanya terfokus pada ponsel, Rean sesekali melirik ke layar, tertawa, lalu kembali beralih fokus.

Meski tidak berada di rumah sendiri, tetapi Rean tetap merasa sepi. Ayah dan bundanya sudah tidur sejak tadi. Lampu pun kebanyakan sudah dimatikan. Cahaya hanya bersumber dari layar televisi dan ponselnya. Mata Rean sedikit sakit, tapi ia tidak kunjung terlelap.

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang cepat terdengar menuruni tangga. Keterkejutan membuat Rean bangkit dari sofa. Kedua kelopak matanya menyipit dengan jantung berdetak cepat. Selama hampir seumur hidup tinggal di rumah ini, Rean tahu ada sesuatu yang menempati tangga rumahnya.

"Rean?"

Jantung Rean seperti turun ke perut ketika panggilan itu terdengar. Refleks, tangan Rean mengusap dada. Lalu, kedua matanya makin menyipit ketika lampu dinyalakan. Pupilnya mengecil, berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang muncul tiba-tiba. Untung saja, orang yang muncul dari balik dinding dan menyalakan lampu adalah Anggia. Jika tidak, mungkin Rean hanya tinggal nama.

"Kamu belum tidur?" Anggia bertanya.

"Bunda sendiri belum tidur?" Rean balas bertanya. "Mau ke mana? Nggak sama ayah?"

"Ah, itu." Anggia berdeham pelan. "Bunda ada urusan sebentar. Ayah kamu masih tidur. Bunda nggak tega banguninnya.Kamu jangan lupa tidur. Jangan keseringan begadang."

"Urusan apa?"

Anggia meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Tanpa menjawab pertanyaan Rean selanjutnya, Anggia berlari meninggalkan Rean yang masih berdiri di ruang keluarga. Kepalanya penuh tanda tanya, heran sendiri karena ada raut panik yang terlukis di wajah Anggia.

"Hah." Rean kembali duduk di sofa dan berbaring. "Ya udah, hati-hati, Bun."

•••

Suasana instalasi gawat darurat tidak terlalu ramai ketika Zello dibawa ke sana. Meski nadi dan pernapasannya sudah stabil karena menggunakan alat bantu pernapasan, tetapi kekurangan oksigen cukup membuat kondisinya tidak berangsur membaik. Tindakan yang cepat juga membantu agar kondisi Zello cepat tertangani.

Zello berada di zona merah, menunggu konfirmasi dari Intensive Cardiac Care Unit. Tidak ada yang menyangka bahwa laki-laki itu akan mengalami serangan yang mendadak. Padahal, kondisi sebelumnya baik-baik saja, tidak ada keluhan sama sekali.

Atau ... Zello kembali menutupi kondisi yang sebenarnya.

Anggia yang menerima kabar pertama kali langsung bergegas ke rumah sakit, meninggalkan Rean yang bahkan tidak dibalas ketika bertanya. Di pikirannya hanya ada Zello, yang seingatnya masih dalam kondisi baik saat mengabarkan bahwa dirinya akan tidur, tepat di pukul satu tadi. Rasa takut menghantui, membuat diri Anggia kalut.

Ketika tiba di rumah sakit pun, rasa takutnya tidak kunjung berkurang. Mendapati sang putra dalam kondisi yang tidak stabil mampu membuat jantung Anggia seolah ikut berhenti berdetak. Ketika ia meraih tangannya yang terasa dingin, tidak ada respon sama sekali, rasa takutnya semakin menjadi-jadi. Semua ilmu yang ada di kepalanya seolah menghilang begitu saja.

Zello benar-benar menepati perkatannya. Jika ada suatu hal terjadi, bundanya yang akan pertama tahu.

"Bukan begini maksudnya, Zel," bisikan lirih terdengar.

Usapan lembut pada puncak kepala Zello tidak lantas mengganggu laki-laki itu. Matanya terpejam damai, tampak seperti tertidur dengan nyenyaknya, meski dengan alat invasif terpasang di tubuh. Anggia tidak ingin mengganggu, tapi ia ingin Zello segera bangun dari tidurnya.

"Kenapa, sih, kamu hobi banget buat Bunda khawatir?"

Anggia tahu, Zello tidak akan merespon. Ia juga tahu, laki-laki itu tidak akan membuka matanya kembali dengan cepat. Mungkin segera, namun Anggia tidak ingin menunggu.

"Jangan begini lagi, Zel. Bunda nggak suka." Bisikan lirih terdengar, sedikit tersamar karena isakan.

Sebagai seorang ibu, Anggia tidak ingin Zello terus merasakan sakit. Kalau bisa, ia ingin memindahkan sakit yang putranya itu rasakan ke tubuhnya. Sedikit, Anggia berharap semua ini hanya mimpi, dan esok hari manik indah Zello akan kembali terbuka dengan senyum manis di bibirnya.

"Jangan menyerah, ya, Zel. Jangan lupa bangun lagi. Bunda bakal tunggu, walau harus selamanya."

•••

"Lah?" Ghavi mengerjap beberapa kali ketika mendengar nama pasien yang akan masuk ke Intensive Care Unit pagi hari ini. Agak tidak percaya, ia kembali membaca nama yang tertera di bagian pojok kanan atas rekam medis.

Azello Narendra (23 tahun).

Ghavi ingat betul, tadi malam ia masih berbalas pesan dengan Zello. Katanya, sahabatnya itu tidak bisa tidur sama sekali meski sudah mendapat izin dari koleganya. Tak lama, Zello pamit ingin tidur, namun sebelumnya ia sempat mengirim pesan yang membuat Ghavi bergidik ketika membacanya kembali.

Sebelum pulang besok, gue main ke PJT dulu, ya.

Ghavi mengiyakan, tetapi setelahnya tidak ada balasan. Ia kira, Zello sudah tertidur. Hingga pagi, tanda bahwa pesan sudah dibaca belum juga muncul. Zello masih menghilang dan waktu terakhir ia membuka aplikasi pesannya ada di pukul 01.50, tepat ketika pesan terakhirnya dikirim.

"Ini yang lo sebut main, Zel?" Ghavi bergumam pelan. Embusan napasnya terdengar lirih. "Nggak salah, sih."

Ghavi menggelengkan kepala beberapa kali. Ia masih tidak percaya, bahkan setelah Zello dibawa masuk ke ICCU dan ditempatkan di bed satu. Kondisi Zello kini stabil, meski kesadarannya belum kembali.

Berdiri di samping bed, Ghavi merapikan selimut yang Zello gunakan. Meski meringis beberapa kali karena melihat tubuh sahabatnya itu kejang—efek sempat henti napas dan menyebabkan otaknya kekurangan oksigen. Ghavi sudah biasa, tetapi ia tidak dapat menahan kesedihan jika yang ada di hadapannya ini orang yang paling ia percaya selain keluarganya.

"Apnea di ruangan. Lo abis ngapain, Zel?" Ghavi bertanya, meski tahu Zello tidak akan menjawab. Namun, ia percaya Zello mendengar ucapannya.

Kedua kaki Ghavi melangkah, menghampiri meja dengan buku besar yang ada di depan bed. Tangannya mengisi grafik tekanan darah dan nadi, serta obat-obatan yang harus diberikan pada waktunya. Kedua manik matanya beralih pada monitor. Tampak tekanan darah yang menurun dan nadi lebih dari seratus kali permenit. Saturasi oksigen memang baik, namun hal itu karena penggunaan alat bantu pernapasan. Ghavi tidak yakin Zello dapat bertahan tanpa bantuan.

"Setelah ini lo bakal jadi bahan gosip lagi. Mungkin sore atau malam ini, satu rumah sakit bakal tahu kalau ada perawat anak yang collapse di ruangan." Ghavi tertawa pelan, menutupi kesedihan yang ia rasakan. "Lo harus hadapin gosipan itu, oke? Makanya itu, jangan lupa bangun. Jangan sampai lo pergi di saat gue yang bertanggung jawab atas kondisi lo. Kalau kayak gitu ... mungkin gue nggak akan pernah bisa maafin diri gue seumur hidup."

•to be continued•

A/n

Bayangin kalau Jello mati sebelum sempat baikan sama Rean :")

Btw, agak ada foreshadowing buat ending di part ini ehehehehe

Mau curhat dikit. Part sebelumnya nunjukkin Jello kambuh jam dua pagi, ternyata setelah aku update, jam dua pagi aku juga sakit wkwkwkwk pas aku liat jam kayak agdjakshdkska WOY

Karena aku udah penuhi permintaan kamu buat update malam ini, boleh kali kasih kesan pesan buat aku.

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang