Chapter 20

3.6K 404 43
                                    

Chapter 20
Sonder
By saytheutic

.
.
.

Ghavi tidak dapat fokus sama sekali.

Meski di tangannya kini ada camilan milik Zello, tetapi sejak tadi ia hanya diam. Duduk di sofa dan menatap ke luar jendela. Sementara sang pemilik kamar sedang asyik memakan makan siangnya.

"Gimana, ya, kalau orang cuma bersikap pura-pura baik sama kita?" Ghavi tiba-tiba berucap, membuat Zello berhenti menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. "Ngomong-ngomong, lo udah nggak sesak lagi?"

Zello menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia sudah menangkap gelagat aneh Ghavi sejak tadi. Sahabatnya itu lebih sering diam daripada biasanya. Perlahan, Zello meletakkan nampan ke atas meja.

"Gue harus jawab yang mana dulu, Pak?" Zello balas bertanya.

"Terserah lo."

"Hmmm ...." Zello sedikit mendongak, menatap langit-langit kamar yang lampunya dimatikan. "Buat pertanyaan kedua, gue masih sesak, cuma sedikit. Saturasi gue udah lebih baik daripada sebelumnya. Udah nggak butuh bantuan napas juga. Lagian, gatel banget hidung gue berhari-hari pakai nasal kanul."

Ghavi tersenyum sejenak. "Perawatan dari gue berhasil, ya?" Ia berucap, meski lebih mirip gumaman. "Gue harus minta naik gaji ke ayah lo."

Zello tersenyum lebar. Ia bangkit dari bed, menarik tiang infusnya, dan duduk di sebah Ghavi. Ikut menatap ke luar jendela. Masih terang, tetapi langit tidak lagi berwarna biru.

"Gue pengin pulang ke rumah, deh," ujar Zello tiba-tiba. Tidak mengalihkan pandangan dari langit. Senyumnya tipis, tampak begitu sendu. Berminggu-minggu tidak menghirup udara segar, lantas membuat Zello merasa semakin sakit. Dinding rumah sakit mungkin juga sudah lelah mendengarnya terisak tiap malam.

"Gue juga mau ngurus pendaftaran buat daftar jadi pendonor."

Ghavi terhenyak dari lamunannya sendiri. Ditatapnya sang sahabat. Pernyataan Zello ternyata cukup membuatnya terkejut.

"Kenapa?" tanya Ghavi.

"Gue pengin terus berguna buat orang lain. Walau gue udah nggak ada lagi, tapi ada satu orang yang bakal terus hidup dengan baik karena gue." Zello mengulum bibirnya sejenak. "Jantung gue emang udah rusak, tapi mata gue enggak. Gue pengin, orang lain yang nasibnya berkebalikan sama gue, bisa ngerasain rasanya hidup dengan normal, kayak yang lainnya. Gue mungkin nggak akan pernah tahu gimana dia menjalani hidup ke depannya, tapi gue yakin, pasti yang terbaik."

"Gue ...." Zello menarik napas panjang sejenak. "Mau ngasih keajaiban buat orang lain. Karena gue tahu, rasanya terus digantung sama keadaan dan cuma bisa terus berharap. Rasanya nggak enak banget."

Zello perlahan mengusap sudut mata dengan punggung tangannya. Ia tertawa pelan, merasa dirinya sangat menyedihkan. Zello sudah menyerah menunggu keajaiban yang tidak kunjung datang. Bertahun-tahun, hanya berakhir dengan rasa sakit lainnya.

"Gue juga minta DNR." Zello melanjutkan, lantas membuat Ghavi terkejut.

"Kenapa?" cicit Ghavi lirih. Ia tidak ingin melihat ada tanda ungu di pergelangan tangan sahabatnya. Berkali-kali sudah mengalami hal itu dan Ghavi tidak ingin orang terdekatnya yang berada di situasi tersebut.

"Gue cuma capek." Zello mengalihkan pandangan, menatap Ghavi tepat di mata. Senyum tidak juga luntur dari bibirnya, yang justru membuat dirinya makin tampak menyedihkan. "Sayangnya, orang tua gue nggak setuju. Kakak gue juga nggak setuju. Gue nggak bisa ambil keputusan itu gitu aja, walau gue udah dewasa dan keputusan terbesar ada di tangan gue."

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang