Chapter 8

2.9K 370 26
                                    

Sonder
Chapter 8
By saytheutic

.
.
.

Menjadi seorang dokter bukan sesuatu yang Rean cita-citakan. Permasalahan utamanya, Rean bukan individu yang senang berinteraksi dengan individu lain. Sejak masih sekolah, Rean lebih memilih untuk diam, duduk membaca bukunya, tanpa peduli dengan kondisi di kelasnya. Meski saat di sekolah menengah pertama sempat tertarik dengan kelainan yang ada di tubuh manusia, tetapi ada hal lain yang lebih menarik minat Rean; langit dan alam semesta.

Tetapi, kedua orang tua Rean berkata lain.

Rean diharuskan mengikuti jejak salah satu orang tuanya. Rean diberi pilihan, namun hanya dua; mengikuti ayah atau bundanya. Sialnya, tidak ada pilihan yang ia suka. Memilih sama saja masuk ke dalam neraka terdalam. Sekali masuk, Rean tidak akan pernah bisa keluar lagi.

Mau tidak mau, suka tidak suka, Rean menjalani pilihannya. Menekuni meski setengah hati. Rean sudah telanjur basah. Ia hanya harus terus berenang hingga ujung. Setidaknya, dengan begitu ayah dan bunda akan bangga padanya.

Karena itu pula, Rean harus berada di salah satu unit yang paling dibencinya; instalasi gawat darurat. Meski terkadang ke ruang rawat, mengunjungi pasiennya, tetapi tempat utamanya berada di sini. Diharuskan untuk bertemu orang baru setiap saatnya, hampir membuat Rean memilih untuk menyerah.

"Dok, pasien anak yang digigit piranha, udah pulang?" Resa, salah satu perawat di instalasi gawat darurat, bertanya.

Rean yang awalnya tidak fokus sama sekali, langsung mengerjap. Ia beralih dari komputer ke arah perempuan yang sedang menulis sambil berdiri tersebut. Tangannya perlahan mengusap mata, agak gatal karena tadi sempat tidak berkedip.

"Udah, kayaknya," jawab Rean ragu-ragu. "Kalau nggak salah, sih, tadi udah pulang."

Resa mengernyit heran. Tumben-tumbenan laki-laki di hadapannya ini tidak fokus sama sekali. Tetapi, ia memilih untuk mengerti. Mungkin, Rean sedang lelah. Berhari-hari melakukan pelayanan, tentu menjadi tugas yang berat.

"Mau istirahat dulu, Dok?" Resa kembali bertanya, agak prihatin ketika melihat wajah Rean tidak seperti biasanya. Meski biasanya menjadi pribadi yang irit bicara, namun hari ini tampak berbeda. Wajahnya tampak tanpa rona dan menyedihkan.

Rean mengusap wajah. Ia pada akhirnya memilih bangkit. Lagipula, dirinya bukan satu-satunya dokter di sini. Masih ada yang lain. Menghilang sebentar tidak akan menimbulkan masalah.

"Saya istirahat sebentar, ya," ucap Rean, sebelum berjalan menuju pintu belakang, pintu yang dikhususkan untuk pegawai. Ia ingin tidur sebentar. Mungkin, setelahnya, Rean dapat kembali fokus seperti biasanya.

•••

Zello merasa tidak ingin berangkat hari ini. Badannya terasa lemas hingga untuk beranjak dari kasur saja rasanya tidak memungkinkan. Zello menghela napas panjang, menatap dirinya sendiri di refleksi cermin yang ada di hadapannya.

Pucat dan tidak bercahaya sama sekali.

Memaksakan seulas senyum, Zello berusaha untuk berdiri. Tidak seperti hari pertamanya bekerja, tenaga Zello seolah terkuras habis. Ia meraih tas ransel yang berada di sisi tempat tidur, sebelum mengarah ke luar kamar.

Hujan sudah berhenti sejak tadi, tetapi hawa dingin masih terus berembus. Langkah Zello yang lunglai menyertai laki-laki yang kali ini tampak tidak begitu rapi tersebut ke rumah sakit. Napasnya berembun, hingga kedua tangan yang awalnya hangat mendingin.

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang