7. Tumpangan

10.1K 394 13
                                    


Saat bokong Genta hendak jejak ke permukaan kursi berkaki kayu, suara mkilik Deka terlebih dahulu bersuara menyambutnya dengan pertanyaan.

"Habis dari mana? Lama banget," pupil matanya bergerak menatap Genta.

Tiga lainya menoleh serempak saat mendengar pertanyaan dari Deka. Seolah ikut penasaran, ingin segera terjawab.

"Uks." Genta menjawab dengan nada malas. Memilih untuk fokus bermain ponsel, daripada harus meladeni tatapan aneh para sahabatnya.

"Lo sakit?" kali ini Arga yang bersuara, seraya meneguk jus stroberi dalam gelas panjang kaca yang ia pesan.

Lirikan kedua mata Genta terangkat, beralih menatap Arga. Kedua alis cowok itu terangkat menandakan bahwa ia ingin segera mendapat jawaban.

Bibir Genta rasanya enggan mengeluarkan suara, mengetahui pertanyaan konyol dari Arga. Kalau benar ia sakit, sudah pasti ia akan memilih berada dalam kelas, ketimbang harus susah-susah menyusul ke kantin.

Genta kembali mengalihkan mata ke layar ponsel. Tak kuasa jika harus menjawab pertanyaan yang sudah tau jawabannya.

Karena tak mendapat respon, tatapan resek dari pemuda di samping Nando keluar. Mulutnya hampir penuh diisi kunyahan bakso yang belum tertelan.

"Kawlo ourang nauya diojawab!" ketus Rendi terdengar tidak jelas. Membuat arah tatapannya para sahabatnya teralih, memandang dengan tatapan jijik.

Mulutnya terlihat sudah renggang, pertanda bahwa kumpulan bulat-bulat bakso tersebut sudah tertelan dan sedang berproses menjadi gumpalan adonan berwarna kuning.

"Lo kapan meninggal Gen?" pertanyaan nyeleneh dari bibir Rendi membuat Genta kembali mengangkat pandangannya. Alis tipisnya mengernyit, kedua bola mata itu tampak menajam.

Saat tau emosinya mulai terpancing, Genta segera mengontrolnya. Menarik nafas pelan kemudian ia hembuskan, guna meredakan rasa emosi yang akan siap meledak. Ia tidak mau jiwa Gerald kembali muncul dan memukul sahabatnya itu.

Ekspresi wajahnya kembali datar, mengangkat bahu cuek. Seolah mengatakan bahwa dia juga tidak tau.

"Gue tau, kenapa lo irit banget kalau ngomong," ujar Rendi menganggukkan pelan dagunya dengan ekspresi pura-pura berfikir.

"Kenapa tuh?" seru Arga menyela.

Deka memilih diam, raut wajahnya tidak memperlihatkan bahwa ia benar-benar mencerna setiap obrolan sahabatnya. Obrolan yang benar-benar terdengar membosankan untuk didengar.

"Karena bau jigong!" seru Rendi, membuka lebar mulutnya, mengeluarkan tawa jahat yang terdengar sampai ke penjuru kantin. Niat hati ingin membuat orang-orang tertawa, justru kini wajah Rendi terlihat bersemu malu mendapati tidak ada terdengar tawa sedikitpun di sana.

Seisi kantin langsung mengalihkan pandangan ke sumber suara. Menghujani Rendi dengan berbagai tatapan. Membuat ekspresi cowok itu berubah datar.

"Yang natap gue, mati!" teriaknya tegas.
Mendengar itu, seisi kantin kembali fokus dengan kegiatan masing-masing. Takut akan ancaman salah satu anggota geng Delax.

🌜🌛

Sebelum kedua kaki Aya melangkah berlari, tangan Serin bergerak cepat menggapai pergelangan tangan gadis itu. Aya menoleh.

"Kemana?" tanya Serin mengangkat kedua alisnya.

Disa ikut menatap kedua sahabatnya. Mengetukkan sebelah sepatu hitamnya ke permukaan porslen lantai koridor. Mengamati dengan mulut sibuk mengunyah keripik kentang.

"Pulang." Jawabnya singkat, tak lupa menunjukkan senyuman Pepsodent. Menampilkan gigi putihnya.

Disa berdecak sebal, "tau!" balas Disa ngegas.

Jodoh untuk Dekayas (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang