CHAPTER 6

41.7K 2.5K 579
                                    

W-why? Kenapa? K-kenapa bisa dunia sesempit dan seimut ini? Kenapa bisa ternyata Tania adalah keponakan Joan?

Elder mumet. Baru saja dia ingin membangun citra baru di hadapan Joan, perempuan itu justru datang dan menodongnya untuk bertanggungjawab atas kecebong jadi yang bukan miliknya.

Sekarang, di kafe dekat kampus mereka duduk bersama. Di kafe tempat Elder memutuskan Tania tiga hari lalu.

"Kau jangan macam-macam, Tania. Aku berani bertaruh itu bukan anakku," tekan Elder. Menunjuki wajah Tania yang tak acuh, berani sebab ada Joan di sisinya.

"Bukan anakmu bagaimana? Kalian terus bercocok tanam di kamarnya, sialan," tandas Joan galak.

Elder berdiri. "Tapi itu bukan anakku. Gugurkan saja." Setelahnya Elder kembali duduk. Ngomong-ngomong kaca mata bolongnya sudah dia buang.

"Enak sekali mulutmu bicara," kata Joan dengan rahang terkatup. Memelototi Elder dan ia duduk dengan satu kaki terangkat ke kursi.

Diam-diam dari tadi Elder memperhatikan penampilannya. Joan mengenakan sneakers keren, jeans hitam di bawah pusat, juga bra calvin klein yang hanya dia lapis dengan jaket kulit hitam crop blazer.

"Setidaknya beri aku uang jika ingin aku menggugurkannya," timpal Tania. Tujuan utamanya adalah memang untuk memeras uang Elder, dan itu tak bisa ia lakukan seorang diri.

"Kau ingin menggugurkannya?" Joan bertanya kepada Tania. Keningnya berkerut.

"Lihat? Aku tahu yang kau inginkan hanyalah uang." Elder berdecih lalu bersedekap tangan di dada.

"Berikan dia uang," titah Joan. Mimiknya datar melihat Elder.

"Tidak ada uang," tolak Elder kontan. Menengok ke samping.

Joan lalu berdiri, mendekati Elder kemudian ia cengkeram kemaja dosen tersebut. Elder berkedip, mendongak serta merta membalas tilikan galak Joan padanya.

"Berikan dia uang," suruh Joan datar. Nadanya ia tekankan, ada ancaman mata Elder akan masak bila pria itu menolak kembali.

Elder membuka kedua tangannya. "Oke, oke. Berapa yang dia butuhkan?"

"Tania, berapa?"

Tania menahan senyum kemenangannya. "3000 dollar."

"Apa?" Elder melotot lalu berdiri. "Kau ingin memerasku atau apa? Kau pikir 3000 dollar itu bisa kudapatkan hanya dengan memulung? Hey, lubang—"

"Lubang apa!" bentak Joan galak bukan main. Kini ia yang memelototi Elder dan pria itu langsung membekap mulut.

Tania terkekeh, bersedekap santai dan melihat mantannya mati kutu. Baru ini ia lihat Elder setidak berdaya itu untuk melawan. Tahu begini dari kemarin-kemarin ia memanggil Joan, batin Tania.

"Baik, baik. Berikan nomor rekeningmu dan akan kutransfer setelah ini." Elder mengalah. Lebih baik begitu daripada biji mata atau biji cherry hitamnya di bawah yang menjadi korban.

"Sekarang," tekan Joan. Melepas kemeja Elder dengan cara mendorong kecil.

Elder manut. Segera ia transferkan uang sebanyak 3000 dollar kepada rekening Tania saat itu juga melalui aplikasi bank di ponselnya.

"Selesai, oke? Jangan pernah berurusan lagi denganku," kata Elder. Jengkel namun ia tahan.

"Iya, Sayang. Terima kasih." Tania terkekeh, mengedipkan satu matanya untuk Elder serta mencolek dagu lelaki itu sekilas.

"Bagus. Berani menyodok harus berani juga menerima risiko. Dan tolong didik burung beomu agar tidak terus menyodok di sana-sini. Karena obat HIV hanyalah mati," tandas Joan, memberitahu.

SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang