CHAPTER 21

25.3K 2K 448
                                    

Elder mengira Joan hanya bercanda tentang mereka yang akan berjumpa kembali malam ini. Ia mengira Joan tidak serius mengajaknya keluar untuk mengunjungi restaurant kekinian yang baru buka dan sedang ramai-ramainya pengunjung itu.

Karena mengira Joan tidak akan benar-benar datang, Elder lalu putuskan mengunjungi galerinya. Sudah dua jam Elder berada di ruangan tersebut, menyetel musik di speaker dan melukis dalam ketenangan. Pikirannya terfokus, dan melukis membantu otaknya bekerja lebih baik.

Elder melangkah mundur sembari memegang kuas serta mangkok cat. Ia pandangi lukisannya bersama senyum tercipta, bahagia melihat karya seninya sendiri. Pria itu bertelanjang dada dan memakai apron melukisnya yang sudah terkena-kena cat.

"Kau benar-benar berbakat dalam banyak hal."

Cepat Elder berbalik badan, menghadap ke belakang dan ia temukan Joan di sana. Berdiri di samping pintu masuk, bersandar di dinding sembari melipat kedua tangan di dada. Mengamati Elder beserta lukisannya.

Bibir Elder berkedut akibat menahan senyuman. Ia menunduk sekilas dan kembali melihat Joan. "Kau ... sejak kapan kau di sini?" tanya Elder, ia tak sangka Joan akan benar-benar datang lagi.

"Belum lama. Sekitar sepuluh menitan," jawab Joan sembari berjalan mendekat. Ia hampiri Elder, berdiri tepat di depan lelaki itu yang beraroma cat-cat lukis.

Joan menengadah seraya bersedekap lantas Elder merunduk membalas tatapan perempuan itu. Ketika Elder segera melihat ke samping dengan senyum tipis tercipta, Joan pun mengulum bibir merasa gemas.

"Kau masih ingin melukis? Apa harus kita batalkan saja rencana makan malamnya?" Joan meminta pendapat. Tidak masalah juga bila Elder meminta untuk tetap di situ dan menemaninya melukis. Setelah Joan pandangi pria itu tadi, Joan merasa seperti ... tidak ada yang lebih indah dari mengamati Elder melukis dalam ketenangan tingkat tinggi. Terlihat memesona, menguar aura manly namun softnya. Benar-benar tenang, hangat, dan lembut.

Memang benar, dari awal mereka berjumpa dulu, Joan mengakui Elder sosok pria yang hangat. Siapa pun yang berada di dekatnya pasti akan merasa senang, sayangnya tidak dengan Joan kala itu.

"Jadi bagaimana?" Joan sedikit menundukkan kepala namun matanya naik menilik Elder kembali.

Dosen itu mengedikkan bahu. "Dari kau saja. Aku tidak keberatan jika dibatalkan. Tapi bukankah itu sangat tidak sopan? Kau sudah datang jauh-jauh dan rencananya batal hanya karena aku masih melukis," ucap Elder memasang senyum, manis. Ia segera mundur memberi jarak lebih di antara mereka.

"Tidak apa. Melukislah, aku akan melihat-lihat dan memesan dua box pizza juga minuman untuk kita," sahut Joan yang kemudian mengeluarkan ponselnya. Memesan pizza dan minuman untuk ia dan Elder.

"Pakai uangku." Elder ingin mengambil dompetnya namun Joan menolak.

"Jangan seperti itu. Aku tidak enak hati," timpal Elder. Ia berkedip sudah memegang dompet.

"Diam. Lanjutkan melukismu." Joan menunjuk seraya mengulas senyum, dibalas pula oleh Elder dengan senyum yang lebih manis.

"Terima kasih," lontar Elder pelan. Ia lalu kembali duduk di kursi, mulai melukis lagi sementara Joan sedang melihat-lihat lagi semua hasil lukisan pria tersebut.

Memotret, Joan foto satu-persatu semua hasil seni lukis Elder yang ia sendiri tak bisa membuatnya, dan semuanya terlihat sangat estetik juga abstrak. Tanpa Joan ketahui, semua lukisan yang terlihat abstrak dan sulit dipahami itu adalah gambaran dari ingatan Elder sendiri. Ingatannya yang abstrak, buram, blur dan benar-benar tidak jelas atas segala sesuatunya yang sudah pernah pria itu lewati.

SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang