CHAPTER 24

23.2K 2.1K 1.1K
                                    

Ramaikan! Biar besok bisa update lagi!

****

Tak ingin terbelenggu oleh rasa canggung, maka Joan memutuskan untuk ikut melukis bersama Elder. Meski tak pandai dalam seni, lebih baik ia mencoba melukis alih-alih duduk manis dan hanya memperhatikan Elder sibuk dengan dunianya sendiri.

Dengan jarak sepuluh meter membentang, kedua orang itu mulai melukis walau Joan sendiri tak tahu apa yang sebenarnya tengah ia lukis. Sesekali Joan mengelap tangannya di celemek milik Elder yang dikenakannya karena terkena cat. Sementara di sana Elder hanya bertelanjang dada.

Mereka bergeming, melukis sembari mendengarkan musik yang terus berputar pada speaker kecil kepunyaan Elder. Malam kian larut, gerimis kecil bahkan telah jatuh berhamburan di luar galeri. Udaranya mulai dingin namun di dalam situ hanya ada kehangatan semata.

"Kopimu sudah dingin," timpal Joan dari posisinya. Kopi yang ia bawa tadi sudah benar-benar dingin tetapi Elder sama sekali belum meminumnya.

"Berikan saja padaku jika kau tak mau," sambung Joan lagi. Dia pecinta kopi, dan takkan rela melihat minuman kesukaannya terbuang-buang begitu saja.

Tanpa menjawab, tangan Elder terulur meraih cup kopi, Elder tenggak hingga tandas dan Joan dapati jakun lelaki itu naik turun saat menghabiskan kopinya.

Elder angkat lagi cup kopinya lebih tinggi, menunjukkan kepada Joan bila kopi pemberian si tomboy itu telah dia habiskan. "Sudah habis. Terima kasih," timpal Elder di situ, tak ingin melihat Joan karena malu. Malu sebab tadi ia sudah berkata seolah-olah dirinya adalah seorang pacar yang merasa dikhianati.

Padahal kenal pun belum lama ini, di mata Elder. Ia belum bisa mengingat apa pun tentang dirinya bersama Joan yang sudah saling mengenal dari lama, bahkan bagaimana dulu ia sangat menginginkan perempuan itu, dan bagaimana dulu ia sangat mengejar Joan yang sama sekali tak sudi padanya.

Sesaat setelah mereka kembali melukis dalam tenang, Elder bersama tatapnya mendadak terjebak di wajah Joan, lama-lama berdiam di wajah Joan mengamati tiap titiknya, mencari-cari sesuatu yang sampai di malam ini tak Elder mengerti mengapa ia bisa secepat itu merasa nyaman bersama Joan.

Siapa perempuan ini? Apa hubungannya dulu bersamaku? Mengapa aku memiliki perasaan padanya hanya dalam sekejap kami saling mengenal?

Dalam gemingnya Elder bertanya-tanya, tak berkedip ia dengan setia menilik lagi dalam-dalam wajah Joan yang tengah fokus melukis.

"Tolong katakan seperti apa hubungan kita dulu." Seketika Elder meminta, mengejutkan Joan hingga tangan perempuan itu berhenti bergerak.

Joan membelalak singkat kemudian meletakkan kuasnya di mangkok cat. Dia membalas tatapan Elder. "Dulu? Dulu kita berteman seperti ini. Kita sering jalan dan pergi makan bersama, pokoknya tak berbeda seperti kita saat ini," jawab Joan berusaha meyakinkan.

"Katakan dengan jujur, Miss Rue." Elder meninggalkan kursinya, berjalan gontai gagah ia hampiri Joan.

Kini di hadapan Joan dosen itu berdiri. Ia menunduk menatap Joan, pun Joan menengadah tinggi guna membalas sorotan pria tersebut. Mereka saling memandang sembari mendengarkan rintik-rintik deras hujan yang sudah jatuh menyerbu di malam ini.

"Mungkin aku tak bisa mengingat apa pun mengenaimu, tetapi feelingku tentangmu terlalu kuat. Demi apa pun, bila kau salah satu sosok terpenting yang kulupakan, tolong ceritakan apa pun tentang kita padaku," minta Elder dengan nada berat lamat-lamat. Mimiknya menggambarkan permohonan.

Mendadak Elder merendahkan kepala, menatap langsung kedua mata Joan dari jarak dekat dengan kepala teleng ke kiri dan kanan, bergantian, pelan-pelan, lamban. Matanya pun agak sayu, ia kunci erat kontak mata mereka hingga Joan menahan napas, tak berani mengembuskan napasnya seakan-akan Elder adalah iblis yang hendak memangsa.

SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang