CHAPTER 20

30.8K 2.2K 674
                                    

Setelah berbicara bersama Joan tadi, Sanzio tetap putuskan untuk mendatangi Elder karena itulah niat utamanya. Meninggalkan semua pekerjaan, anak serta istrinya karena ia sangat ingin bertemu Elder, Sanzio ingin mengetahui perkembangan kesehatan sang adik.

Satu jam bersama Elder, Sanzio banyak bercerita mengenai apa saja yang adiknya lupakan dalam lima tahun terakhir. Namun, tidak Sanzio ceritakan mengenai Joan, Christy, dan semuanya mengenai dunia percintaan pria itu. Untuk yang satu itu, biarlah suatu saat Elder mengingatnya sendiri.

Senyum Sanzio terulas tatkala ia perhatikan Elder yang berdiri di depan meja, memegang iPad dan Apple Pencil, menulis serta menggulir-gulir layar. Sesekali Elder memainkan globe ornament yang terpajang di atas nakas, memutarnya secara cepat. Mengobrol bersama Sanzio tetapi Elder tetap membuat soal-soal untuk para mahasiswanya.

Inilah Elder yang sesungguhnya. Inilah Elder adiknya yang cerdas, berpendidikkan, dan mampu menghafal seluruh nama negara di dunia beserta bendera-bendera kebangsaan mereka. Beginilah Elder yang sejati, permainannya adalah globe ornament, rumus-rumus, dan bukan lubang-lubang vagina.

"Aku suka melihatmu seperti ini. Rasanya sudah lama kita tak bertemu," lontar Sanzio. Ia merindukan Elder yang begini, yang hanya fokus pada ilmu serta kariernya seperti dulu, seperti ketika pria itu belum terjun ke dunia percintaan.

"Bukankah aku memang seperti ini?" lontar Elder. Sesaat ia menoleh, melempar senyum kepada Sanzio yang juga membalas dengan senyum hangat, mengangguk singkat.

"Benar. Dan kau Adikku yang tersayang," sahut Sanzio.

"Todorov juga." Elder menambahkan, tidak mau sampai adik bungsu mereka dilupakan.

Sanzio terkekeh penuh wibawa. "Iya, Todorov juga. Kalian berdua Adikku yang tersayang, kalian cerdas, kalian luar biasa, kalian berpendidikkan, dan kalian berdua sangat membanggakan. Aku bangga pada kalian berdua," tutur Sanzio dari sofa. Ia temukan senyum manis tercipta pada bibir Elder.

"Dan kaulah panutan kami berdua. Kakak yang hebat akan memberi dampak besar pada Adik-Adik mereka. Karena dari seorang Kakak-lah para Adik mengambil contoh," kata Elder sambil mencatat di iPadnya.

Ada jeda sekitar lima menit. Sanzio hening seraya memperhatikan Elder. Adiknya itu memang sehat secara fisik, tetapi sakit di kepalanya pun tak bisa dianggap remeh. Masih tergambar jelas bagaimana Elder hanya bernapas menggunakan alat-alat canggih kedokteran, antara hidup dan mati dan Sanzio menangis seorang diri ketika menatap wajah Elder semasa koma. Tak ada harapan, Sanzio bahkan sempat merasa bahwa, Elder benar-benar akan meninggalkan mereka.

"Kalau boleh aku bertanya ...." Sanzio berdiri, ia hampiri Elder lalu berdiri tepat di samping sang adik. Terselip satu tangan Sanzio ke dalam saku celana, dan satu tangannya lagi memutar globe dengan cepat sementara Elder asyik menggulir-gulir layar iPad, membaca, melihat banyak rumus-rumus menyakitkan mata bagi mereka yang membenci dunia perhitungan.

Globe berhenti. "Menurutmu, apa itu takdir?" tanya Sanzio, melanjutkan perkataannya di atas.

"Seperti kau dan aku. Kita ditakdirkan untuk menjadi Kakak dan Adik. Kita tidak meminta dan menginginkannya, tetapi Tuhan-lah yang mengaturnya. Dan itulah takdir," urai Elder segera. Tanpa banyak berpikir keras dan ia masih asyik pada iPadnya.

"Jadi apa itu takdir?" tanya Sanzio kembali dengan lembut. Ia tersenyum memandang sisi wajah Elder.

"Takdir adalah sesuatu yang tidak kita ketahui, tidak kita minta, tidak kita inginkan, dan tidak kita duga. Takdir bukan pilihan, tetapi Tuhan-lah yang memberinya," jelas Elder lagi secara cepat. Otaknya bekerja dengan cepat tanpa hambatan apa pun. Berbicaranya pun sangat lancar seolah-olah ia telah menyimpan jawabannya itu sedari lama.

SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang