"Ck. Keparat."
Joan mengumpat. Pagi-pagi dia dibuat kesal saat mengingat lagi mimpinya semalam. Bisa-bisanya dia bermimpi segila itu tentang dia dan Elder di kamar hotel.
"Apa-apaan? Sekalipun aku masih perawan, haram sekali kuberikan keperawananku padanya," monolog Joan. Ia semprot cepat-cepat body motornya yang sedang ia cuci.
Lagi pula ada apa dengan dirinya? Kenapa juga ia sampai membawa ke mimpi tentang Elder yang memancingnya dengan mengajak ke hotel? Tidak mungkin karena tidak jadi sampai-sampai ia memimpikannya. Jatuhnya seperti berharap sekali.
Joan semakin jengkel saat ia ingat, kalau semalam Elder menyentuh bibirnya memakai ibu jari dan ia diam saja. Pria keparat itu memang tampan dan karismatik, tapi kenapa ia harus terima saja ketika Elder menyentuh bibirnya?
"Ck." Joan kembali berdecak. Ia lalu duduk di kursi, merasa suasana hatinya benar-benar buruk sedari pagi tadi saat ia kaget bangun karena mimpinya.
Bukan mimpi yang biasa-biasa. Joan bermimpi ia dan Elder benar-benar bercinta, benar-benar melakukan seks sementara di dalam mimpi itu ia masih perawan. Walau cuma mimpi, rasanya Joan sangat jengkel dan tak dapat menerima.
Tangan Joan terulur ke samping, ia raih bungkus rokoknya kemudian menyalakan pemantik, membakar rokoknya dan ia isap dalam-dalam. Sekarang ia merenung, mengingat-ingat isi mimpinya yang jujur saja, rasanya sangat enak.
Meskipun cuma mimpi, hantaman Elder terasa seperti nyata.
"Yang benar saja sebesar lenganku," gumam Joan tiba-tiba. Saat melihat lengannya sendiri, ia mengingat ukuran cagak jambu Elder di mimpi yang sebesar lengannya ketika turn on.
Masih kesal dengan mimpinya, ponsel Joan di saku samping lantas bergetar. Tidak ada lain, Joan yakin seratus juta persen Elder yang meneleponnya. Semalam, pria itu memaksa meminta nomor ponsel Joan, dengan perjanjian mereka takkan sering berjumpa lagi asalkan Joan mau selalu mengangkat teleponnya.
Memang Elder sekeras itu. Padahal nyata-nyata sudah Joan menunjukkan rasa tidak sukanya kepada si dosen tersebut.
Sambil menyesap rokok Joan mengangkat. Mimiknya datar, memperhatikan motornya di depan.
"Pagi, Sayang. Sudah sarapan?"
Mual, Joan mendadak bergidik mual mendengar suara Elder. Benar-benar suara buaya mesum.
"Jangan meneleponku jika hanya ingin berbasa-basi. Aku sibuk," balas Joan ketus.
Joan dengar Elder terkekeh di telepon.
"Ini masih pagi, Sayangku. Kenapa kasar sekali? Apa susahnya tinggal menjawab?"
"Aku belum sarapan," jawab Joan masih ketus. Ia mengisap rokoknya lagi.
"Oh? Kenapa belum? Mau kupesankan? Ayolah, jangan malas-malas sarapan, nanti kau kena maag."
Singkat Joan memutar bola matanya. Kenapa bisa ada laki-laki seperti Elder ini? Berlagak sangat akrab seolah-olah mereka sudah saling mengenal sedari embrio.
"Tidak ada yang penting? Kupadam, aku—"
"Kau ada waktu? Jika ya, ikut denganku, kita makan siang bersama. Hari ini aku gajian."
"Aku tidak ada waktu."
"Baik, tidak usah jalan. Selesai mengajar aku akan langsung ke situ. Kau mau kubawakan apa?"
Astaga, demi dewa. Joan mendesis, dia pening mendengar celotehan Elder yang cerewet melebihi mendiang neneknya.
"Terserah kau, bangsat." Joan memutus panggilan. Tidak sanggup lagi berbicara dengan Elder yang seperti menguras tenaganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND
RomanceFollow untuk membuka bab-bab yang dikunci melalui web ! 21+ || ADULT ROMANCE She said : ❝Sebab bagi mereka yang terhormat dan bermartabat, dalam mencintai pun harus setara.❞ He said : ❝Segala perbedaan akan kalah telak pada hebatnya cinta yang tak...