CHAPTER 28

24K 2K 1.1K
                                    

Visual Joan Rue sudah aku post di feed instagram. Cantik, kan? Cantik banget malah.

****

"Um... jadi kau ingin mendidikku?" Joan gelisah di duduknya. Dia berusaha menghindari tatapan Elder namun tidak bisa. Tidak mungkin juga mereka harus duduk saling memunggungi sembari mengobrol. Jika ada dua orang yang seperti itu di sebuah ruangan ramai, maka semuanya yang di dalam situ adalah sinting. Benar, semuanya. Kenapa tidak mereka tegur si dua orang itu dan malah membiarkan mereka? Itu aneh, benar? Katakan ya.

"Um. Aku ingin kau bertambah cerdas." Kopi Elder sudah habis. Efek hujan yang membuat suhunya kian dingin, kopi yang masih sedikit beruap pun langsung Elder teguk tandas.

Joan tampak berpikir, sesaat dia menggigit bibirnya kecil. "Apa... apa aku harus bersekolah lagi?"

Sambil menatap Joan Elder pun mengangguk. "Benar. Kau harus bersekolah lagi."

"Tapi ... bagaimana mungkin? Aku sudah setua ini, tidak mungkin aku harus memakai seragam ...." Suara Joan putus mengambang, dia amati Elder yang seketika terkekeh lalu tawanya pecah sampai memegangi perut.

"Kenapa tertawa? Aku serius." Di bawah meja Joan menendang pelan kaki Elder.

Sambil tertawa Elder membuka telapak tangannya kepada Joan, masih bergetar punggung dosen ini karena berusaha meredam tawanya. "Siapa yang menyuruhmu harus pergi ke sekolah dan memakai seragam? Bukan begitu."

Betapa indahnya makhluk yang satu ini. Joan terpukau melihat tawa Elder yang begitu cerah, benar-benar pria yang hangat, hijau begitu ekspresif. Inilah Elder yang sesungguhnya, beginilah sifat Elder yang sebenar-benarnya.

"Lalu bagaimana?" tanya Joan serius. Tidak mau tertawa meski ia merasa lucu melihat Elder masih cengengesan hingga seluruh muka dosen itu memerah.

"Elder! Aku serius!" Mulai kesal. Alhasil Joan pun tertawa sebab Elder tak bisa menghentikan tawanya. Saat Joan ikut tertawa, tawa Elder semakin besar dan pria itu sampai duduk merosot hampir masuk ke kolong meja. Kacau membayangkan Joan pergi ke sekolah, memakai seragam, tas punggung pink juga kaos kaki tinggi sampai ke paha. Jika itu benar terjadi, kiamat sudah dunia.

"Mhkay!" Elder menggosok hidungnya satu kali, mengulum bibir lalu mengembuskan napas. Sesak karena tertawa hampir lima menit lamanya.

Joan pun sudah berhenti cekikikan meski wajahnya masih merah karena tertawa barusan.

Sekarang dengan amat serius Elder tilik kedua mata Joan bergantian. "Seumur hidup aku akan mengajarimu. Kau akan belajar padaku dan aku yang akan mendidikmu."

"Kau jadi guru privateku?" Joan menunjuk ke arah dadanya sendiri.

"Lebih dari itu," sahut Elder. Dia memasang mimik serius.

"A-apa? Ck, bicara dengan jelas. Kau tahu aku ini tolol, mana mungkin bisa aku menebak—"

"Kebiasaan!" Suara Joan putus. Elder kutik keningnya yang barusan lagi dan lagi menghina dan merendahkan diri sendiri.

Mata Joan berkedip-kedip sementara Elder menyorotnya intens. "Sekali lagi kau hina-hina dirimu sendiri di depanku, kupukul kau tanpa segan. Bagaimana bisa orang-orang memandangmu baik jika kau sendiri selalu merendahkan, melecehkan, bahkan menghina-hina dirimu sendiri? Jangan seperti itu, aku tidak suka. Hargai, cintai dirimu yang telah sanggup membawamu sampai sejauh ini, sampai di hari ini kau duduk di depanku sebagai perempuan yang kusayangi dan kuinginkan."

Blank blank blank. Napas Joan memburu berderu, dia cerna baik-baik semua ucapan Elder dan rasa-rasanya dia ingin melompat dari ketinggian seribu meter. Terbang bagai burung di udara dan melanglang buana mengitari seisi dunia. Sialan memang dosen satu ini, bisa-bisanya dia cairkan kembali hati si janda yang sudah sempat mengambil tekad untuk menutup hati seumur hidupnya setelah di kegagalan pertama.

SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang