CHAPTER 40

44.9K 2.5K 1.5K
                                    

Rules number one :

Aku tidak akan menerima segala jenis hate comment untuk ending SECOND yang telah aku pilih ini. Semua yang meninggalkan hate comment akan aku hapus dan aku blokir.

Aku terbiasa menerima cacian dan makian, tetapi untuk kali ini, aku tidak akan mau menerimanya.

Selamat membaca 🌹

****

Tidak ada kata egois dalam memperjuangkan sesuatu. Tiap-tiap orang memiliki sesuatu yang ingin ia gapai, seperti Elder yang hanya menginginkan hubungannya bersama Joan tercapai, namun rasanya kini sungguh sulit. Mereka sama-sama sakit, sama-sama pula tak lagi diinginkan.

Meski telah babak belur dan hancur hati berkeping-keping atas semua ucapan Todorov tadi pagi, malamnya Elder tetap menepati janji. Dengan bibir terluka, mata memar, rahang membiru, Elder tetap mendatangi rumah Joan di kala langit malam menurunkan gerimis-gerimis kecil.

Pria itu tenteng sebuah paperbag berisikan laptop, laptop yang sudah ia janjikan kepada Joan.

Di halaman rumah Joan Elder memarkirkan motornya. Mimik sayu dan kesedihannya seketika berubah kini menjadi seceria biasa, bahkan Elder telah memasang senyum begitu ia telah berdiri di depan pintu rumah Joan, siap untuk mengetuk.

Pintu lalu diketuk, semakin hangat kini Elder memasang senyumnya.

"Ibu, selamat malam," celetuk Elder tatkala ibu Joan muncul, membukakan pintu untuk dosen tersebut.

Senyum pahit tercipta pada bibir ibu Joan. Ia paksakan bibirnya untuk memberi senyum kepada Elder yang tiba-tiba terdiam, menatap kedua mata bengkak ibu Joan.

"Hey... kenapa dengan mata Ibu? Ibu menangis?" tanya Elder lembut, ia maju, hendak menyentuh pipi ibu Joan namun wanita itu seketika memecahkan tangisnya, berlutut di bawah kaki Elder.

Elder menahan pelotototan, tubuhnya menegang saat ibu Joan memeluk kedua kakinya sembari menangis sesenggukkan, menggeleng-gelengkan kepala.

"I-ibu tolong, jangan seperti ini. Aku tidak mengerti—"

"Kau mengerti, Elder. Kau mengerti..." Ibu Joan memotong, suaranya sudah serak dan ia peluk kaki Elder semakin erat.

"Tidak, aku tidak mengerti, dan aku tidak suka Ibu seperti ini." Elder merasakannya, Elder merasakan malam ini semuanya akan berakhir lebur. Perasaannya telah kacau dari pagi sampai-sampai ia pun tidak sanggup pergi mengajar.

Jika Todorov menemuinya dan semurka itu, Elder yakin sekali bila adiknya itu pun telah menemui Joan lebih dulu. Elder yakin, benar-benar yakin, dan ia tahu, tangisan ibu Joan malam ini ialah tangis kesakitan setelah mengetahui segala-galanya.

Kuat Elder bawa ibu Joan berdiri, dia pegang kedua bahu wanita paruh baya itu yang kian tersengguk, menutup wajahnya memakai kedua tangan lalu punggungnya telah bergejolak. Menangis dari terbit hingga tenggelamnya matahari, mengabaikan semuanya, mendengarkan cerita Joan dan ia tak kuasa menahan air mata.

Panas, mulai berkaca-kaca kini kedua mata Elder. Tatapannya lemah, ia pandangi ibu Joan yang sampai menyeka ingusnya berkali-kali dan kembali membekap mulut, terisak dalam rasa sakit yang ia terima setelah mendengarkan segalanya dari Joan.

Dengan bibir gemetar, ibu Joan memegang kedua lengan Elder seraya mendongak, berjatuhan air matanya tak terkendali. "Bisakah kau meninggalkan saja putriku Joan?" Serak, lirih ibu Joan berkata.

Membisu, Elder merasa napasnya yang tiba-tiba tersendat di leher. Semakin panas kini kedua mata dosen tersebut.

"Bisakah kalian berpisah saja? Putriku, Joan, aku— a-aku tahu dia salah. Semuanya telah dia ceritakan padaku dan aku merasa seperti ditikam, Elder. Hatiku seperti ditikam..." Raungan tangis ibu Joan terdengar begitu menyakitkan, menyiksa hingga ke palung hati.

SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang