CHAPTER 18

29K 2.4K 420
                                    

Ramaikan 🥂
Btw siapa yang belum follow akun wattpadku? Pencet follownya dulu neng, yuk! 💋

****

Melangkah mundur perlahan, mengedarkan pandangan, berputar badan dan disertai senyuman. Joan terpukau melihat lukisan-lukisan hasil karya Elder, senyum manisnya merekah memandangi semua lukisan itu satu-persatu.

Lukisan-lukisan abstrak yang keindahannya akan ditemukan jika semakin lama dipandang, semakin memukau dan seolah membuat otak manusia yang memandangnya bekerja lebih keras untuk memahami. Terhanyut oleh makna yang tersembunyi di dalamnya.

"Semua ini kau yang melukisnya?" lontar Joan dari sana. Jemarinya bergerak di atas lukisan-lukisan, merabainya perlahan.

"Um. Aku benar-benar mulai melukis setelah bangkit dari koma. Saat itu tangan kiriku patah dan masih dalam proses penyembuhan. Karena aku tak tahu harus melakukan apa, akhirnya kuputuskan untuk melukis. Setiap hari kegiatanku hanyalah melukis, melukis, dan melukis," urai Elder menjelaskan.

Pria itu duduk di kursi. Kemeja putihnya dia linting sampai ke siku, membuka kancing bagian atas, melepaskan juga sepatunya, dan ia mulai sibuk memadukan warna-warna. Jemari kekarnya memegang kuas, mencampurkan warna-warna natural.

"Apa semua lukisanmu ini memiliki makna?" tanya Joan lagi. Tanpa sadar perempuan itu bersedekap, berdiri serta bersandar pada tepian meja lalu matanya tertuju kepada Elder. Mengamati lelaki itu.

Tangan Elder mulai bergerak di atas kanvas, pelan-pelan melanjutkan lukisannya yang belum diselesaikannya. "Aku sendiri tidak tahu. Aku hanya melukis sesuai dengan isi kepalaku," jelas Elder di situ. Dia tersenyum, sekilas melempar pandang kepada Joan yang masih memandangnya dari jarak sepuluh meter.

"Ingin mencoba?" tawar Elder.

Joan mengedikkan bahu serta membuka kedua lengannya singkat. "Aku tidak pandai mengenai seni." Perempuan itu menjawab, lalu tersenyum.

"Kita bisa karena kita belajar. Kadang kala niat dan usaha dapat mengalahkan bakat," timpal Elder. Dia melukis perlahan, namun sesekali matanya melirik ke arah Joan.

Joan lantas mendekat, melangkah ia menghampiri Elder yang duduk di kursi. Di dalam ruangan itu bernuansa tenang, bararoma cat-cat dan pengharum ruangan, serta lampunya yang berwarna kuning. Di setiap sudut terdapat lukisan dan di atas beberapa nakas terdapat bunga serta vasnya yang cantik.

"Jadi kau juga bisa bermain gitar?" Joan bertanya setelah ia melihat gitar milik Elder.

"Bisa dikatakan begitu." Elder mengulas senyum, ia mendongak lalu matanya bertumbuk pada mata Joan. Di samping Elder perempuan itu berdiri.

Refleks Elder lebih dulu mengalihkan pandangan. Kembali menjalankan kuasnya di atas kanvas.

"Kuharap ... suatau saat aku bisa mengingatmu," celetuk Elder seketika.

"Tidak perlu mengingatku. Cukup kau tahu bahwa kita memang pernah saling mengenal. Meski tidak akrab, tetapi aku tak pernah menyesal bertemu denganmu," sahut Joan.

Ia memperhatikan tangan Elder yang bergerak-gerak lembut. Dulu, Joan merasa sangat kesal, dia jengkel, dia muak atas pertemuannya bersama Elder. Namun, setelah pria itu tiada lalu meninggalkannya, ia menyadari satu hal bahwa ... pertemuannya dengan Elder adalah pengalaman yang seru. Sebab seburuk apa pun seseorang yang pernah kita jumpai, ia akan tetap menjadi sebuah pelajaran di dalam hidup kita. Kira-kira begitulah yang Joan tangkap.

SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang