CHAPTER 4

47.3K 2.7K 494
                                    

"Jadi Sayang, di restaurant mana kau ingin makan, um?"

Begitulah suara bajingan. Belum genap 24 jam mereka bertemu kembali setelah satu setengah tahun, Elder telah mengklaim jika Joan adalah kesayangannya.

Di sebelah Elder kini Joan berada, duduk bersandar namun satu kakinya ia angkat naik ke jok. Jaketnya ia turunkan sampai ke bahu, menjepit rokoknya di antara jari dan sesekali menyesap bersama Elder di samping yang juga tengah menyesap rokok.

"Dari kau. Kau yang mengajakku," jawab Joan. Melepas jaketnya lalu ia lempar ke jok di belakang. Menyugar naik surainya dengan rokok ia gigit pada sudut bibir.

Sambil mengemudi Elder terus melihat ke arah Joan, berkali-kali, memperhatikan wanita itu dan ia mengakui di dalam hati bahwa dirinya telah terpesona. Sikap Joan yang cuek, sulit didekati dan juga sosoknya yang keren, benar-benar berbeda dari semua wanita yang selama mendekatinya.

Dan di titik ini, Elder sungguh mengakui Joan telah membuat hati serta matanya terpikat. Terpesona kepada perempuan itu.

"Ngomong-ngomong, berapa umurmu?" tanya Elder sembari membanting setir kemudinya dengan satu tangan, cekatan, menimbulkan urat-urat pada lengannya.

Joan mengembuskan asap rokok keluar jendela mobil, tertuju matanya ke layar ponsel, terlihat ibu jarinya sibuk menggeser-geser layar ponsel. Samar-samar Elder melihat wanita itu ternyata sedang membuka aplikasi instagram.

"27 tahun," jawab Joan sebutuhnya. Tak ada minatnya untuk bertanya balik, itu sama sekali tidak penting.

Elder menggigit rokok sisa setengahnya di bibir. Satu tangannya lincah cepat memainkan persneling, sementara satu tangannya lagi sibuk memutar setir kemudi.

"27 tahun? Benarkah?" Elder mengepulkan asap dari mulut lantas melihat Joan di samping. "Kupikir kau gadis 23 tahunan."

Joan tak menanggapi. Sibuk membalas pesan, mengisap rokok lalu puntungnya ia lempar keluar jendela. Berganti-gantian Elder melihat Joan juga jalanan di depan.

"Ayo putuskan kau mau makan di mana. Banyak restaurant di sekitar sini," kata Elder. Jujur, ia kesulitan membuka obrolan karena sikap Joan yang tak acuh, takkan bersuara bila tak ditanyai.

Pria dingin itu biasa. Tetapi bagaimana dengan wanita dingin? Seumur-umur ia menjadi bajingan, Joan menjadi satu-satunya perempuan bersikap dingin yang ia jumpai, pikir Elder, dibuat terkesima pada karakter wanita itu.

"Hey, kau tak dengar aku, Sayang? Aku bertanya." Sengaja Elder memanggil sayang, tahu bila Joan tak suka pada panggilan itu dan yang pasti Joan akan meresponnya.

"Um?" Joan mengangkat wajah melihat Elder di samping. Mengalihkan matanya dari ponsel.

"Kau bilang apa, Sayang?"

Daaaaamn. Elder terkejut, ia sampai menyipit dan kini menyorot wajah cantik Joan penuh selidik. Bukan, bukan Elder bahagia Joan telah memanggilnya sayang.

Elder tahu banyak tentang wanita. Ia telah menyelam sangat jauh di dunia percintaan, dan tak ada satu wanita pun yang akan balas memanggil sayang pada pria yang baru dikenalnya. Kecuali ia pun seorang pemain.

Lalu ekspresi Joan, ekspresinya itu benar-benar mengejutkan. Yang tadinya cuek dingin, kini Joan memasang senyum cantiknya bagai wanita polos yang amat mencintai pria bajingannya. Seperti perempuan tolol yang telah dibutakan oleh cinta, tahu prianya seorang pemain dan bajingan kelamin, namun ingin terus mencintai dan ingin selalu menjadi yang terbaik untuk prianya.

Sontak Elder terkekeh kemudian menggeleng kecil. "Kita makan di restaurant pilihanku. Di ujung sana, ada satu restaurant yang sering kudatangi," katanya, sekilas barusan ia menunjuk ke arah depan.

SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang