CHAPTER 26

21.8K 2.1K 1.1K
                                    

Sesak napas, Joan semakin sesak napas mendengar penuturan Elder. Ia merasa runtuh di tempat kemudian menangis sungguh-sungguh di hadapan Elder. Berjongkok menyembunyikan wajah, menangis, berdiri lagi lalu kian maju hingga tubuh mereka hampir berimpitan.

Tinggi Joan menengadah guna mendapati wajah Elder untuknya balas tatap lekat dengan bersimbah air mata.

"Bunuh aku, bunuh aku sekarang," minta Joan penuh penekanan rahang mengetat. Dia bawa tangan Elder ke lehernya untuk dicekik.

"Bunuh aku! Jika tak ada pihak keluargamu yang ingin membunuhku, maka tolong kau sendirilah yang membunuhku. Bunuh aku, Elder, cekik aku sampai mati," pekik Joan tinggi. Benar-benar gemetar dalam tangis kesesakkannya.

"Aku menawarkanmu kasih sayang, bukan kematian," balas Elder. Dia tarik tangannya dari leher Joan.

"Kasih sayang? Itu penghinaan seumur hidup. Kau ingin bersamaku yang rendah dan bodoh ini? Keluargamu mengecamku, Delvecchio Elder Taylor. Mereka bahkan mengharamkan aku hadir di mimpimu. Dimimpimu, Elder. Hanya di mimpimu." Tersengguk Joan di situ, perasaan campur aduknya saat ini jauh lebih sakit, menyiksa dari ketika sang mantan suami meninggalkannya, demi apa pun.

"Aku tahu aku salah, aku tahu aku gila, tetapi bukan seperti itu kau membalaskan dendammu. Lebih baik kau bunuh aku di sini dan biarlah aku mati, daripada kau merangkul dan menyayangiku, tetapi seluruh dunia mengecamku." Buru-buru disertai napas sesak berat Joan berucap, menangis dan membiarkan air matanya terus berjatuhan.

"Aku, a-aku tahu aku hanya janda bodoh tak bersekolah—"

"Bisakah kau berhenti menghina dan merendahkan dirimu sendiri? Aku sakit hati—"

"Karena itu fakta. Semua itu fakta, semua itu benar—"

"Tapi aku sakit hati mendengarnya. Aku sayang padamu dan aku akan menutup mata pada semua fakta itu. Aku akan menutup mata, aku akan berpura-pura buta demi dirimu," potong Elder memekik. Mukanya merah padam, ia meledak tak tertahankan mendengar semua pernghinaan-penghinaan Joan terhadap dirinya sendiri.

Joan menangis bercampur tawa frustrasi. Dia melotot menatap liar ke mana-mana, menyisir naik rambutnya kuat-kuat dan kembali menilik wajah Elder di atas.

"Kau cerdas, Elder. Kau pria cerdas, kau dosen, kau memiliki gelar doktor, jadi kumohon; kumohon jangan menjadi gila seperti diriku. Pergilah, pulang dan mulailah kehidupanmu yang bahagia tanpa bayang-bayang diriku lagi. Cukup sudah, jika kau pun tak mau membunuhku, maka biarkan saja aku mati membawa rasa bersalah dan penyesalan ini di seumur hidupku." Putus asa, Joan telah putus asa pada kenyataan, kewarasannya akan benar-benar pudar malam ini.

"Lupakan gelar, lupakan kecerdasan, lupakan nama baik, lupakan. Lupakan semua itu dan ingatlah betapa bajingannya aku sebelum ini. Ingatlah semua itu, ingatlah bahwa aku hanya seorang lelaki berengsek. Tolong—"

"Elder Elder Elder... Elder cukup, pulanglah, kumohon. Kuminta kau pulang sekarang juga dan lupakan bila Joan Rue si janda gila ini tak pernah ada, tak pernah hidup di dunia. Ayo, pulanglah, pulang...."

Tangis Joan benar-benar sakit, lehernya seperti diikat memakai kawat berduri, hatinya seperti ditumbuki memakai berton-ton besi. Jika kau tanya perempuan itu, dia pun ingin mati, sakit hati tiap kali ia mengina dirinya sendiri. Tapi apa mau dibuat? Joan mengakui semua itu adalah fakta adanya.

Elder berbalik badan. Dia tumbuk-tumbuki sendiri kepalanya, menahan matanya yang sudah berkaca-kaca terasa begitu panas.

"Kau waras? Berhenti menyakiti dirimu sendiri, semua orang mencintaimu dan kau tak boleh lagi tersakiti—"

"Jadi bagaimana denganmu, huh?" Tiba-tiba Elder menoleh, melengos menatap Joan lekat dengan bola mata memerah juga napas berderu cepat.

"Aku mencintaimu. Aku juga mencintaimu dan aku tak ingin kau menyakiti harga dirimu sendiri. Jangankan kau, aku pun tak terima setelah kutahu Sanzio dan Todorov bahkan Gemma bibiku telah menghinamu. Aku laki-laki yang ingin merangkulmu, menyayangimu, dan menjadikanmu lebih baik dari hari ini. Sebodoh-bodohnya kau, setidaknya kau harus pahami yang satu ini," papar Elder cepat, dia tahan mati-matian air matanya. Dia tahan mati-matian emosionalnya yang telah meledak-ledak di dalam diri.

SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang