CHAPTER 36

25.7K 2.1K 1.8K
                                    

3300 kata! Ramaikan!

****

"Yes. Aku berhasil, yes yes. Wohooo!" Jonas berseru riang, heboh meninju-ninju angin, gembira akhirnya dia berhasil menyelesaikan rubik setelah beberapa hari belakangan dia mencoba belajar. Benda kubus itu memang menyenangkan jika dilihat, warna-warni, tapi tidak dengan memainkannya. Itu rumit.

"Jadi kau bangga?" celetuk Joan. Mereka berada di ruang keluarga, duduk menonton televisi bersama tetapi dari tadi Jonas memang heboh sendiri. Sementara ibu Joan sedang di dapur, memasak untuk makan malam mereka.

"Oh, tentu." Jonas mematahkan lehernya ke kiri dan kanan, memasang mimik angkuh.

"Memangnya kau bisa? Aku saja harus belajar— kembalikan rubikku. Bu... Joan— what the hell? Kau bercanda?"

Bola mata Jonas hampir tumpah, remaja itu melotot lalu menjambak rambutnya kuat, terheran-heran bercampur frustrasi. Tidak sampai satu menit Joan berhasil menyelesaikan rubik milik Jonas yang tadi remaja itu sudah acak-acak kembali. Saking tidak percayanya, Jonas sampai mengacak-acak lagi berkali-kali, memberinya kepada Joan dan Joan berhasil menyelesaikannya lagi dalam kurun waktu satu menit.

"Daaamn. Ini tidak mungkin, ini tidak— satu kali lagi." Jonas tidak puas, dia acak-acak lagi rubiknya lalu memberinya kepada Joan. Dalam satu menit lagi Joan sudah menyelesaikannya. Jemarinya bergerak sangat cepat secara acak, Joan mainkan rubik milik Jonas bahkan sambil menggigit rokok di sudut bibir.

"Kak? Kau bercanda? Astaga, ini hebat, ini sangat hebat. Sejak kapan kau tahu bermain rubik? Oh. my. God." Jonas heboh, dia berjongkok, berdiri, berjalan ke kiri dan ke kanan, duduk di sofa, berdiri lagi, lalu kembali ke hadapan Joan sambil menjambak rambut. Bocah yang ekspresif.

Joan tertawa, merasa gemas kepada adiknya dan langsung dia tampar bokong Jonas satu kali. "Kenapa kau shock? Skill-ku sudah berkurang karena aku sudah jarang memainkannya. Benda itu selalu kumainkan." Apalagi ketika di masa-masa terpuruk dulu dan seolah-olah semua jalan hidup terasa buntu, sambung Joan di dalam hati.

Alih-alih meminta pencerahan atau bantuan dari ibunya, Joan justru berusaha memecahkan sendiri masalahnya dengan cara bermain rubik. Benda kubus itu selalu bersama Joan, setiap malam Joan selalu memainkannya saat di kamar. Kadang sambil melamun namun jarinya tetap bergerak. Dia mencoba mencari jalan keluar dari hidupnya yang dulu terasa begitu hancur lebur.

Seperti kata Elder, Joan memiliki banyak pengalaman, bahkan pengalaman bermain rubik dengan andal pun dia miliki. Hanya orang-orang yang mempunyai niat dan ambisi besar saja yang mau menyelesaikan permainan rubik berkali-kali, karena benda itu memang runyam. Tapi jika terus diusahakan, si rubik akan berakhir tersusun dengan rapi, yah, begitu juga dengan kehidupan.

Asal niat, berusaha, memiliki ambisi, hidup yang tadinya berantakkan tak tersusun, akan berakhir rapi seperti warna-warna rubik. Begitulah kira-kira Joan mengartikan kehidupannya. Dan rubik adalah temannya, dia terbiasa memainkan itu untuk memecahkan semua permasalahan di kepalanya sendiri. Cara setiap orang memang berbeda-beda, tetapi setidaknya jangan sampai memikirkan mengakhiri hidup seberat apa pun permasalahan yang dihadapi.

Malulah, Tuhan bahkan tidak mau menerima mereka di sisi-Nya.

"Jadi bagaimana dengan sekolahmu?" Joan bertanya.

"Seperti biasa. Menyenangkan tapi juga melelahkan. Sekolah itu melelahkan sekali, apalagi wali kelas kami yang sekarang sangat cerewet. Huh, menyebalkan." Jonas mengomel, sambil duduk di samping Joan dia memainkan lahi rubiknya.

"Jangan seperti itu. Nikmati masa-masa kau bersekolah, tidak semua anak beruntung dapat bersekolah, tahu. Kau harus giat dan semangat, kau kan mau jadi ilmuwan," balas Joan, memberi semangat kepada adiknya.

SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang