CHAPTER 31

27K 2.1K 1.6K
                                    

Mari vote sebelum membaca!

2700 kata!

****

"Aku tidak membenarkan sifat bajingan Elder di masa lalu, dan aku juga tidak membenarkan tindakan Joan. Aku tidak membela keduanya, tetapi aku juga tak bisa begitu saja memisahkan Elder dan Joan. Sebab aku tahu, bagaimana rasanya terpisahkan dari orang yang amat kita cintai."

Sanzio meneguk wine di gelas kaca cantik yang dia pegang. Di sebelahnya terdapat Kenneth yang juga memegang segelas wine. Mereka sedang membahas Elder dan Joan, di mana dua menit lalu baru saja mereka lihat Elder membawa Joan pergi dengan perempuan itu yang mabuk berat.

Di dalam mobil mewah itu ayah anak tersebut berbincang, berjumpa setelah satu bulan terakhir tak saling tatap muka. Sebagai anak tertua, Kenneth meminta masukkan dari putranya—Sanzio—mengenai Elder dan Joan.

"Mereka saling mencintai." Kenneth menimpali. "Elder bisa memilih mati menyusul Joan jika Todorov benar-benar bertekad untuk membunuh perempuan itu," tambahnya.

Sesaat Kenneth bergeming, meneguk winenya kemudian tersenyum tipis. "Di sisi lain, aku bangga kepada Elder. Dia pria yang amat tulus, contoh sekaligus bukti nyata dari pria yang tak memandang masa lalu seorang wanita. Aku salut, cintanya sungguh tak bersyarat harus begini dan begitu. Apa adanya dia dapat menerima Joan beserta masa lalunya yang kacau."

"Karena kami pun memiliki orang tua yang hebat," sahut Sanzio. Sekilas ia menengok menatap ayahnya di samping. "Kau dan ibu tak pernah mengajarkan kami menilai seseorang dari masa lalu mereka. Jadi di saat ibu amat marah bahkan membenci Joan seperti saat ini, aku mengerti bahwa hatinya sudah benar-benar terluka," kata Sanzio pelan pun berwibawa. Tak kalah berwibawanya dari Kenneth.

Pelan Kenneth mengangguk. "Jika boleh aku terus terang, aku tak masalah Elder dan Joan bersama. Elder pria dewasa, dia tahu harus memilih wanita yang seperti apa. Dia tahu perempuan seperti apa yang harus dicintainya. Jika pilihannya adalah Joan, biarlah, dia sudah memilih dalam keadaan sadar," urai Kenneth terang-terangan.

"Tapi, aku pun tak mungkin mendukung mereka begitu saja di depan ibu kalian. Di sini ada perasaan serta hati istriku yang harus kujaga. Akan tetapi, aku pun tak sampai hati memisahkan Elder dan Joan sampai harus kukirimkan Joan ke lubang kematian. Aku tidak sesampai hati itu, sungguh," sambung Kenneth serius, dia berbicara apa adanya.

"Aku mengerti." Sanzio membalas, meneguk lagi minumannya. "Kita lihat saja ke depannya akan seperti apa. Mereka berdua orang dewasa yang saling mencintai, mustahil jika tak terjadi apa-apa di antara mereka."

Kedua pria berwibawa itu terkekeh, rendah.

"Sampai sesuatu terjadi pada Joan karena perbuatan Elder, aku berani bertaruh ibu takkan bisa menentang lagi. Kita tahu ibu perempuan yang menjunjung tinggi rasa tanggungjawab dan nama baik kehormatan, takkan mungkin bagi ibu bisa membiarkan Joan begitu saja tanpa pertanggungjawaban dari Elder sementara itu perbuatan putranya sendiri," ujar Sanzio dan ia terkekeh lagi.

"Tunggu dan lihat saja. Kita juga tahu Elder seliar apa. Mustahil dia dapat mengontrol diri." Kenneth menambahkan.

"Semuanya akan segera membaik. Ini hanya masalah waktu." Kenneth tersenyum diikuti oleh anggukan Sanzio, setuju.

****

Muntah, muntah, terus muntah. Setengah jam sudah Elder sibuk mengusap-usapi punggung Joan di kamar mandi. Dia siram muntah Joan, memijat kepala Joan yang mengeluh amat sakit, sementara kaosnya sendiri masih terdapat muntah Joan dan belum dia bersihkan.

SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang