CHAPTER 34

28K 2.4K 2K
                                    

Ini chapter yg paling kalian tunggu-tunggu. Jadi jangan silent, awas. Ramaikan.

****

"Elder, tolong mengertilah, ini sudah tengah malam. Jangan sampai kita bertengkar dan membuat keributan di sini." Joan serius, sepertinya dia akan meladeni Elder dan mungkin mereka akan segera bertengkar sekarang juga.

"Kau yang memulai," lontar Elder parau, matanya merah, bibirnya sembap, pun suaranya bergetar. Benar-benar ingin menangis, rasanya seperti diputuskan begitu saja padahal mereka pun belum resmi berpacaran.

Awalnya Joan ingin marah, tetapi melihat ekspresi Elder yang mirip anak kecil dimarahi ibunya sampai hanya bisa berdiri sedih, dia kasihan dan langsung menghela napas.

"Okay. Jadi kau maunya bagaimana?" Joan perhatikan muka Elder, benar-benar terlihat sedih, seperti dianiaya sampai begitu sakit hati.

"Aku mau kita menikah..." Pelan, lirih, lemah Elder menyahut. Matanya pun sudah berkaca-kaca.

"Menikah bagaimana? Kau tidak kasihan padaku? Keluargamu, bahkan mungkin seisi dunia ini mengecamku, Elder. Tidak ada satu restu pun yang kukantongi dari siapa pun itu." Cepat-cepat Joan menjelaskan, berharap Elder menjadi lembek lalu luluh kemudian mengerti, bahwasannya mereka sungguh tak bisa bersama.

"Jadi kenapa kau harus memikirkan omongan semua orang? Yang menikah itu aku dan kau, bukan aku dengan mereka," tutur Elder dengan bibir hampir-hampir jatuh melengkung, dia menunjuk-nunjuk ke dadanya sendiri serta ke samping, kepada semua orang-orang.

"Keluargaku biarkan saja, mereka takkan mungkin membenci kita selamanya. Suatu saat mereka sendiri yang akan mendatangi kita," sambung Elder lagi, bibirnya semakin jatuh melengkung. Dia seka cepat bulir bening yang seketika jatuh dari pada mata di sebelah kiri.

Joan sedih, tapi juga ingin tertawa melihat Elder seperti itu. Beginikah sifat asli Elder? Sial, lucu sekali.

"Bisa-bisanya kau menangis hanya karena janda bodoh sepertiku. Kau tidak malu?"

Langsung Elder menangis di situ. Terserah Joan akan menilainya seperti apa. "Biarkan saja aku jadi pria gila yang menangisi janda bodoh," balas Elder namun sembari menyeka matanya berkali-kali.

Kekehan Joan tercipta, tidak sampai hati melihat Elder sudah cosplay bocah berhati lemah lembut begini, sampai-sampai menangis padahal tidak diapa-apakan.

"Pulang, okay?! Besok kau harus bekerja," suruh Joan, suaranya menjadi lembut. Dia dekati Elder, mendongak tinggi kemudian membantu Elder mengelap air matanya.

"Kau sedih, um?" tanya Joan pelan, Elder menyenggut. "Sedih sekali? Hatimu benar-benar sakit?"

Elder menyenggut lagi, menarik ingusnya satu kali lalu spontan Joan tertawa dengan suara tertahan.

"Bayi tiang. Sini, biar aku peluk." Elder merunduk rendah, dia sembunyikan mukanya di bahu Joan, memeluk erat. Joan balas juga dengan erat, memeluk bayi tiangnya kencang dengan punggung naik turun kecil menahan tawa.

"Masih sedihkah?" Joan bertanya, dia usap-usapi punggung lebar Elder.

"Masih..."

"Aku minta maaf." Joan melerai pelukan mereka, dia tangkup kedua pipi hangat Elder yang masih memegangi pinggangnya.

Mereka benar-benar merasa jatuh cinta tiap kali tatap keduanya bertumbuk seperti ini. Mau dibohongi bagaimanapun, Joan pun tak sanggup melepaskan Elder meski tindakannya sangat ingin. Sulit baginya memilih antara cinta dan keselamatan diri sendiri. Mungkin, memang benar, dulu ia telah salah memilih pria.

SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang