33. Terlambat?

26 6 0
                                    

33. Terlambat?

***

 'Setidaknya, gue sudah berusaha menggapai lo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

'Setidaknya, gue sudah berusaha menggapai lo. Walaupun hasilnya tidak sesuai harapan.'

-Adira Ariani-





Adira pulang ke rumahnya dengan wajah takut. Dia terbayang wajah mamanya kalau sedang marah itu melebihi Kak Ros yang ada di film Upin Ipin. Ternyata benar, kecurigaan yang jelas terpatri wajah Mama nya sekarang.

Adira kelagapan, melihat kondisinya yang pincang dan Kamma yang membimbing dirinya masuk ke dalam rumah. Adira bukan takut lagi karena dirinya di marahi. Tapi ... mamanya lah yang memarahi Kamma.

"Selamat malam, Tante. Maaf Adira nya saya bawa kemalaman karena tadi ada kecelakaan kecil dan berakhir jatuh tadi." Dengan rasa sopan setingkat Dewa, Kamma berucap  ramah pada mamanya.

Entah badai apa yang terjadi, mamanya tidak marah sama sekali. Dia justru memarahi Adira. Adira yang dimarahi pun mencebik bibir kesal, padahal dirinya jatuh juga karena Kamma.

"Ah, maaf juga buat kamu. Adira memang anaknya ceroboh banget, sampe ngerepotin kamu gini."

Adira yang mendengar itu, melotot tak terima. Dia merasa tak terima dikatakan ceroboh, walaupun memang sering dirinya ceroboh. Tapi ... bisakah mamanya membelanya sedikitpun di depan Kamma?

"Ihhh! Maaa!" rengek Adira dengan bibir cemberut.

"Apaan, memang benar juga. Kamu kan orangnya serba ceroboh." Mamanya—Leksa menatap Adira dengan raut datar. "Mana lah, anak satu lagi ini. Bima! Bima!" Wanita itu mengomel pelan sembari memanggil nama putra pertamanya.

"Iya, maaa," balas Bima yang baru saja turun dari lantai atas. Keningnya sekejap mengerut memandang Adira, lalu beralih memandang ke arah Kamma yang berdiri memegang lengan Adira. "Lo kenapa, Ra? Kok—kayak orang lagi habis ena-ena." Bima menatap curiga adek satu-satunya itu.

Plakk.

Adira dengan kesal menjitak kepala cowok itu. Ucapan cowok itu membuatnya tak habis pikir karena menganggapnya melakukan hal bejat itu. Pikirannya Bima yang ngeres cepat itu membuatnya gemas tak terkira.

"Aww! Kasar banget lo jadi bocah!" Bima mengusap kepalanya dengan tatapan bengis tertuju pada Adira. "Lama kelamaan gue ikutan bego kayak lo!"

Adira memeletkan lidahnya. "Biarin, lagian pikiran kakak tuh kotor. Bukannya bantuin nolongin malah ngeres otaknya."

"Ya ... wajar gue beramsumsi kek gitu. Lo nya jalannya pincang, kayak habis di apa-apain tuh cowok." Bima tak mau kalah, mulutnya monyong sedikit menunjuk Kamma yang tampak tenang di samping Adira.

Cowok itu tampak tidak takut-takutnya di bicarakan seperti itu oleh Bima, sikapnya yang tenang membuatnya jadi tak di-cap bersalah di sini.

Adira cukup menganggumi keberanian Kamma kali ini.

"Heh—nggak ya, Kamma nggak gitu!" Tanpa sadar gadis itu membela cowok yang masih tenang memperhatikan perdebatan antara adik dan kakak itu.

Kamma mengulum senyum, merasa Adira membelanya di depan Bima. Sementara Mamanya—Leksa ikut tersenyum melihat anaknya yang kecil sudah mulai dewasa.

"Ekhemm, ngebela tuh ye!" Bima yang melihat Adira yang membela Kamma—tak merasa tersinggung sama sekali. Wajahnya dibuat-buat menggoda ke arah gadis itu.

"Sudah, sudah, Bima jangan menggoda adikmu lagi. Bawa dia ke kamar langsung. Udah masam bau nya tuh." Mamanya—Leksa dengan sengaja menutup hidungnya, agar anak perempuannya itu segera pergi kembali ke kamarnya.

"Ihhh! Mamaaa!" Adira memayunkan bibir kesal. Dia lalu menunduk dan mencium bau badannya sendiri. Wajahnya lalu mendongak ke arah Kamma. "Kam, aku bau, ya?"

Kamma berdehem sejenak dan itu membuat Adira semakin memayunkan bibir kesal. "Lumayan."

"Ihhh! Lo ikut nyebelin juga."

"Emang lo bau. Si Kamma aja mengakui tuh," ejek Bima lalu mengambil alih tangan Adira dan memaksanya untuk cepat berjalan. "Udah, cepat! Gue mau nge-game, nih!"

"Idih, nge-game terus. Entar otak kakak jadi bodoh gara-gara itu nanti."

Bima mengedik tak peduli dan tetap memapah Adira untuk naik dari satu tangga ke tangga yang lain.

"Kamma, ayok minum dulu. Udah cape juga dari luar!" Ajak Mamanya Adira—Leksa dengan ramah.

Kamma mengangguk, tak menolak permintaan Mamanya Adira—Leksa. "Masuk Kam, nggak perlu malu-malu."

"Iya Tan, makasih." Sesuai perkataan, Kamma masuk dan duduk di sofa tamu yang ada. Dia mendudukkan diri di sana, sedangkan mamanya Adira—Leksa pergi ke dapur menyiapkan minuman.

Adira menatap sekitar ruangan rumah Adira yang rapi juga terkesan ceria. Dirinya merasa sedikit iri dengan kehidupan gadis itu. Tapi ... di satu sisi dirinya bersyukur karena gadis itu memiliki keluarga yang baik sehingga dia tak perlu merasakan keperihan seperti apa yang dia rasakan.

"Kam—"

Kamma menoleh saat namanya dipanggil seseorang.

Ternyata itu Bima, cowok itu saat ini tengah menuruni tangga dengan pelan. Di tangga kedua, dirinya menghentikan langkah dan menyandarkan dagunya di tepi pembatas tangga.

"Iya, Bang?"

"Lo masih punya waktu, nggak? Mau main game bareng?" tanya Bima dengan ajakan diakhir kalimatnya.

Kamma terdiam sebentar, dengan wajah berpikir. Sepertinya tidak ada salahnya dirinya untuk menerima ajakan Bima.

"Boleh deh, Bang." Kamma menjawab setuju, sudah lama juga dirinya tidak bermain bareng di rumah orang lain.

Bima mendengar itu menjadi bersemangat. "Yaudah, ayok!" Cowok itu kembali membalikkan badan dan naik ke lantai atas. Sementara Kamma mengikuti dari belakang.

***

KOMEN NEXT DI SINI!! BIAR UPDATENYA CEPAT!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KOMEN NEXT DI SINI!! BIAR UPDATENYA CEPAT!!

31 Juli 2023

2019 Crush Diary [ END√ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang