The Evergreen

3.1K 121 5
                                    

The Evergreen Cemetery, Brooklyn, hari ini hari ke 24 mengunjungi makam ibuku. Masih tak ada air mata. Tidak pula kenangan manis walau selalu bersamanya. Apalagi rasa kehilangan. Tidak sedikitpun. Aku hanya terdiam memandang salju yang berjatuhan, meresapi hatiku sendiri yang lebih dingin dari winter di Kota New York.

"Oh, ternyata kamu disini?"

Aku tetap bergeming walau seseorang menegurku dari belakang. Nadanya terdengar hangat, mencairkan salju di sekitarku. Mencairkan pula perasaanku yang masih beku di makam ibu. Kematiannya menyisakan rasa hambar.

"Kamu ingat waktu kita di Thailand?" Wanita itu melangkah maju, menghampiriku yang masih betah menatap kosong. "Ada gajah sedang diikat tali tipis. Kamu ingat?"

Pertanyaan itu hanya berbalas anggukan pelan. Aku tidak melirik, tidak pula menoleh saat dia berdiri kalem di sampingku. Hatiku masih hambar memadang pusara bertuliskan Renee Jean Wilson.

"Kamu tahu kenapa gajah itu tak bisa lari? Padahal talinya tipis."

Nadanya mulai tendensius. Lagi-lagi, dia ungkit masalah kronis yang kualami karena ibuku. Aku hilang hitungkan berapa kali dia ungkit topik ini.

"Karena dia diikat rantai sewaktu kecil. Jadi setelah dewasa, apapun yang diikatkan ke lehernya dia anggap sebagai rantai."

Napasku terhela panjang. Iya, aku paham dia sedang menyamakanku dengan gajah malang itu. Dan rantai yang mengikatku adalah trauma yang ibu tanam sejak kecil. Seumur hidup aku takut kepadanya. Bahkan, setelah meninggal, trauma itu masih ada. Hari inipun kukunjungi makam ibu hanya demi melepasnya. Dan ternyata tidak bisa. Sampai detik ini aku masih bermimpi buruk.

"Sudahlah, aku capek membahasnya. Lebih baik bahas yang lebih penting." Dia pegang tanganku dan memintaku bertatap muka. "Pengajuan cutimu sudah dibahas pemegang saham. Keputusannya minggu depan. Kamu serius soal ini?"

Aku menoleh dan mengangguk. Kutatap pupil biru dari wanita berambut pirang, Megan Marie Hart, sekretaris sekaligus psikiater pribadiku, dia bagaikan sisi koin. Kami tak punya komitmen khusus. Tapi Megan terlalu dekat, sampai tahu seluk beluk tentang diriku.

"Kecemasan akut, psikosomatis, disosiatif, PTSD ... aku sudah tak tahu bagaimana menanganimu."

Kulirik selembar kertas dari sakunya. Berita buruk dalam kemasan laporan medis. Dia sodorkan pula kertas lain yang berisi tanda tangan para petinggi perusahaan kami.

"Mereka memang setuju memberi cuti. Tapi aku tak yakin mau memberi selama itu. Kamu yakin minta dua bulan?"

Untuk kesekian kalinya pertanyaan Megan hanya kubalas dengan anggukan. Sekaligus helaan napas saat kutoleh makam ibuku.

"Danny, dia sudah meninggal." Megan raih pipiku agar aku batal menoleh. "Kamu punya masa depan. Aku punya masa depan. Ayo pulang."

Dengan napas berat, kuikuti si pirang itu ke mobil kuning berstrip hitam. Chevrolet Camaro SS, wanita 28 tahun itu paling suka film robot. Mobil itu hadiah ulang tahunnya bulan kemarin. Aku tak sayang uang untuk apapun yang dia mau.

"Aku masih tak habis pikir dengan rencanamu." Megan tak langsung masuk setelah kubukakan pintu untuknya. Dia justru sandarkan punggung ke mobil itu dan bicara makin serius. "Apa karena Si Jalang itu?" Dia lirik makam ibuku, setelah itu menatapku dengan mata kian memicing. "Memangnya mau kemana sih? Kok sampai minta dua bulan?"

"Indonesia."

Sebelah alisnya terangkat. Megan picingkan mata saat kusebut sebuah negara dunia ketiga.

"Kamu serius?"

"Iya, aku ingin kembali ke Indonesia."

***

New York, sebuah kota yang tak pernah tidur, manusianya selalu dinamis separah apapun badai salju di kota itu. Tak ada tempat bagi pemalas. Kota itu ibarat habitat bagi makhluk pencetak uang. Terutama aku, seorang eksekutif di perusahaan super sibuk.

"Halo, ada orang di sana? Knock knock!"

Aku terhenyak saat Thomas, asistenku, lambaikan tangan di depan wajah. Lamunanku buyar. Pria itu menatap cemberut setelah kami bertemu mata.

"Sudah sampai mana, Tuan Tukang Melamun? Planet Mars? Apa gunung di sana lebih tinggi dari laporan ini?" Dia lirik tumpukan berkas yang tak kusentuh sama sekali.

Tanganku dia tepis saat kuraih laporan itu. Thomas pasti kesal karena aku sedang terkesan ogah-ogahan. Pria itu masih berdiri di depan mejaku dengan dahi makin tertekuk.

"Anda wakil pimpinan, Tuan Jean Wilson. Skala kita global. Tugas kita semakin banyak." Dengan logat Brooklyn-nya yang sangat kental, dia makin cerewet. "Dan anda bilang, anda mau liburan dua bulan ke Indonesia? Anda sudah gila?"

Napasku terhela panjang. Dia benar. Pengajuan cutiku tak masuk akal. Alasannya pun terlalu absurd untuk bisa mereka terima. Aku juga tak mengerti alasanku untuk pergi ke Indonesia, negara dunia ketiga yang seharusnya tidak perlu kukunjungi.

Sebenarnya ada apa?

Akan tetapi, dorongan itu makin terasa. Pikiranku sudah di sana saat badanku masih di New York. Segalanya terasa absurd. Aku makin gelisah saat Thomas memencet-mencet tombol interkom.

"CEO memanggilmu."

24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang