Bab 40

1.3K 100 10
                                    

Jangan lupa vote dan comment!

Happy Reading!!

Saka menurunkan kursi yang diangkatnya, perlahan memutar tubuhnya untuk melihat seseorang yang memeluknya. Sorot mata kejam dan brutal yang sempat menguasainya meredup. Berganti dengan perasaan sesak saat melihat raut wajah Senja.

Dari sekian banyak raut wajah yang bisa diperlihatkannya, Senja sepertinya terlatih untuk menampilkan raut wajah yang bertentangan dengan perasaannya.

Wanita itu tersenyum. Seolah mencoba menenangkan dan meyakinkan Saka kalau dirinya baik-baik saja. Kebiasaannya untuk membohongi Saka membuat Senja sepertinya lupa bahwa senyum wanita itu tampak sangat kontradiktif dengan matanya yang kosong.

Keributan terdengar di sekitar mereka, karena bukan hanya Senja yang masuk setelah pintu studio lukis itu berhasil di buka.

"Panggil ambulans! Cepat." Suara serak Cleo terdengar. Dia mendekati Hikam yang masih mengerang kesakitan hampir kehilangan kesadaran. Ruangan yang biasanya hanya tertumpah oleh cat, kini telah tertumpah oleh darah.

"Non, bukannya kita juga harus menelpon polisi?"

"Iya, cepat telepon. Seharusnya dari tadi. Panggil juga penjaga dan satpam di depan."

Kedua ART yang masuk bersama Cleo menyarankan dengan tatapan takut.

Cleo menggigit bibirnya kuat. Hanya bisa merasa getir karena dia juga tahu Hikam layak menerima ini. Dan merasa lebih getir lagi karena apa pun yang terjadi Hikam tetaplah kakaknya.

Lalu Senja? Cleo mengangkat kepalanya. Menatap kedua orang yang seharunya juga kakaknya.

Perkataan ART tersebut juga terdengar oleh Senja, namun dia tidak menatap ke arah Cleo atau pun kedua ART itu. Matanya menatap ke arah monster yang terbaring dengan wajah berlumuran darah. Mengerang kesakitan dan tidak berdaya. Namun monster yang sedang tidak berdaya itu masih mampu membuat nafasnya perlahan tersengal, menimbulkan rasa jijik yang membuatnya mual.

Perasaannya diselimuti kabut ketakutan, kebencian, dan kemarahan.

Tiba-tiba arah pandangnya terhalang saat Saka menggeser tubuhnya. Sosoknya menjulang tampak kokoh. Membuat Senja kembali berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Aku...nggak suka berada di rumah ini. Bisa kita pergi?" Senja membenci Hikam hingga ingin membunuh laki-laki itu. Benar-benar ingin. Kebencian sama yang pernah Senja tujukan pada dirinya sendiri hingga ingin bunuh diri. Jika mereka tetap di sini, Senja mungkin akan berakhir menusukkan ujung kuas yang tergeletak di lantai ke leher Hikam. Dia tidak ragu menghancurkan dirinya sendiri untuk melampiaskan kebenciannya.

Hanya saja bukan Saka. Senja tidak pernah bisa membuat laki-laki ini hancur bersamanya.

Saka menggenggam erat tangan Senja yang gemetar dan terasa dingin. "Ayo pergi."

Saat itu, beberapa pengawal yang tadinya berjaga di area gerbang rumah Dares Mahendra telah tiba. Berkumpul di depan pintu dengan terkordinasi. Bukan hanya pengawal yang datang, Isla tampaknya juga datang setelah mendengar keributan yang tiba-tiba terjadi di rumahnya.

Isla memandang Senja, lalu menatap terkejut ke arah Hikam. Ini adalah pertama kalinya dia menemui Senja setelah mengetahui bahwa putrinya itu pernah hamil. Dan laki-laki yang bertanggung jawab menyebabkan itu semua adalah putra tirinya yang dia besarkan. Dia lalu menatap Saka yang tangannya berlumur darah. Anak laki-laki yang bukan orang asing untuk keluarga ini. Hubungannya dengan putrinya tampaknya jauh lebih erat dibanding yang dipikirkan Isla.

"Kondisi Mas Hikam terlalu parah. Sepertinya selain jarinya ada beberapa tulang lain yang patah." Salah satu pengawal yang masuk untuk mengecek kondisi Hikam bersuara. "Kami akan menghubungi pak Dares dan meminta polisi untuk mengamankan pelaku."

About Us (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang