Bab 9

1.4K 104 0
                                    

Happy Reading!!!!!!

****

Senja mengetuk jendela mobilnya, Resti yang tadinya sedang memainkan ponselnya segera membuka pintu.

"Aku yang akan menyetir." Tanpa menunggu balasan Resti, Senja segera menarik resti keluar, beralik duduk di balik kemudi.

"Kak Senja?" Suara Resti terdengar heran.

"Kamu mau kutinggalkan disini?" Tetapi nada sinis yang keluar dari bibir Senja membuat Resti segera menyadari bahwa Senja tidak dalam kondisi bisa dibantah.

"Nggak, kak." Resti segera berlari mengitari mobil, duduk di kursi depan. Dia menatap awas pada Senja, bibirnya megap-megap hendak bicara namun ragu, suara mencicit akhirnya keluar dari bibirnya, "Biar aku aja yang nyetir?"

Namun Senja hanya menganggap angin lalu ucapan Resti. Dia mulai melajukan mobil.

Resti yang menyadari tidak ada gunanya bicara, segera memasang sabuk pengaman. Duduk dengan kaku sembari memegang erat sabuk pengaman. Wajahnya pias, terlihat sekali ketakutannya. Bukan karena Senja adalah pengemudi yang buruk, sebaliknya Senja justru ahli membawa mobil. Hanya saja dengan kecepatan yang tidak wajar.

"Kak!" Seru Resti ketakutan saat mobil melaju menembus derai hujan yang semakin deras.

Tetapi Senja seolah menulikan telinganya. Saat memasuki jalan yang sepi dari kendaraan, kaki Senja mulai menginjak gas dengan kuat. Membiarkan mobilnya melaju diantara hujan dan malam.

Gema suara hujan baginya tidak menakutkan. Melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi di tengah hujan juga tidak menakutkan. Nyawanya yang bisa melayang tiba-tiba juga tidak menakutkan.

Senja selalu seperti ini.

Sejak dulu orang-orang selalu menyebutnya dinding besi. Bisikan tetangga dan orang-orang terdekatnya ketika ibunya lebih memilih Dares Mahendra dan keluarga barunya dibandingkan Senja dan Ayahnya tidak mampu meruntuhkannya. Ejekan yang dia terima ketika masih kecil akan dia balas dengan pukulan. Berita palsu di media hanya sekedar angin lalu baginya. Ayahnya mengajarkannya untuk tegar, sedangkan dunia menuntutnya seperti itu.

Senja akan selalu seperti ini.

Bertemu Saka kembali pun tidak mampu membuat dinding itu roboh. Senja melindungi dirinya dengan dinding itu. Melingkupi seluruh bagian dirinya agar tidak ada yang tahu bagaimana dirinya di dalam dinding itu. Menampilkan bagian paling angkuh dari dirinya. Tidak lagi membiarkan dirinya runtuh dan hancur berkeping-keping lagi.

Ketika memutuskan untuk meninggalkan Saka, Senja juga tidak ragu. Keputusan yang Senja tidak sesali. Sampai sekarang pun masih seperti itu.

Cinta? Senja tidak yakin dia masih memilikinya. Mencintai membutuhkan banyak emosi tercurah. Senja tidak yakin dia bisa. Hanya saja melihat Saka membuat Senja kembali mengingat bagaimana dirinya saat masih penuh harapan. Mengingat bagaimana masa depan yang dia bayangkan runtuh.

Semudah itu.

Senja berkendara dengan selamat sampai ke apartemennya. Sepertinya malaikat maut masih enggan mendatangi Senja. Anteriannya mungkin belum tiba. Atau kasihan melihat wajah Resti yang seperti kehilangan separuh nyawanya.

"Cepat banget pulang." Suara Mia menyambut Senja pulang. Mia datang untuk membawakan Senja makanan karena tahu Senja pasti tidak bisa makan bersama keluarganya. Dia mengernyitkan kening saat melihat Resti yang berjalan dengan kuyu, rambut Resti terlihat lembap, bukan air hujan tetapi keringat dingin. "Di luar hujan, kan? Kenapa kamu kepanasan?" Tanyanya heran.

Resti menggeleng lemah, berjalan ke pantri, membuka kulkas untuk meneguk air dingin. Nyawanya hampir melayang begitu saja, sepanjang jalan semua doa yang dihapalnya Resti panjatkan. Dia bahkan yakin sempat membaca doa buka puasa karena sudah kehabisan doa yang diingatnya. Bukan sekali dua kali dia mengalami hal ini, namun dia masih belum terbiasa. Membiarkan Senja membawa mobil sama saja dengan mencoba wahana yang memacu adrenalin. Dia bahkan tidak perlu menaiki roller coster.

About Us (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang