25. Orang gila

10.3K 529 0
                                    

Javino menenteng banyak paper bag ditangannya. Ia dan suaminya sudah kembali ke Indonesia sejak tiga bulan lalu, dan kali ini ia membeli beberapa pakaian dan sepatu yang dibelikan Marsel untuknya.

Bukan, ini semua bukan Javino yang meminta. Namun suaminya itu memaksanya untuk membeli beberapa barang yang memang ia inginkan.

Marsel seperti biasa dibelakangnya, badannya yang besar serta pakaiannya menambah kesan seperti bodyguard-nya.

"Es kriiimm~"

Javino menghampiri pedagang es krim itu. Memesan rasa cokelat satu cup, dan matcha satu cup.

"Om, om." Javino memanggil sang penjual.

"Iya dek, kenapa?"

"Om jangan banyak-banyak makan matcha ya om," Ujar Javino seraya memerhatikan penjual itu menambahkan topping.

"Saya gak suka matcha, dek. Emangnya kenapa sih? Saya kepo nih."

"Nanti banyak matchalah-nya."

Setelah mengatakan itu, Javino langsung membayar es krim tersebut. Lalu menghampiri Marsel yang masih berdiri tegak.

"Mas mau? Aaaaa~" Javino menyendokkan es krim ditangannya, lalu menyuapi Marsel dan langsung disambut baik oleh suaminya.

Marsel tersenyum, hal itu dilihat oleh Javino.

"Melting like an ice cream when you smileee~"

Javino memeluk Marsel. "Emang boleh seganteng itu?" Lalu Javino melepaskan pelukannya.

"Gak bahaya tah?"

Mereka terus-menerus bercanda, mengeluarkan kata-kata yang ada di dalam otak mereka sendiri.

Hingga pada hal yang tak terduga oleh Javino.

Seorang wanita memeluk Marsel, yang mana mendapatkan pelukan balik dari Marsel sendiri.

.

.

.

Sudah tiga hari berlalu setelah hadirnya wanita saat di mall waktu itu. Javino yang masih memikirkan itu siapa, dan Marsel yang seperti tak terjadi apa-apa.

"Dia siapa, mas?"

Marsel yang baru saja masuk kamar mengernyit. Apa maksud dari perkataan Javino itu?

"Apa?" Tanyanya.

Javino menghela nafas, lalu berdiri dari meja riasnya. Lalu berjalan menghampiri Marsel, melepaskan ikatan dasi pada leher suaminya.

Mungkin ini waktu yang tepat.

"Eum... Mas?"

Marsel menunduk, menatap wajahnya.

"Cewek yang waktu itu... Siapa?" Tanya Javino setelah beberapa detik terdiam. Ia sudah menyiapkan mental, siapa tau jika tiba-tiba Marsel membentaknya.

Atau... Bisa saja mendiaminya.

Marsel diam, ia masih memikirkan siapa dan apa yang dimaksud Javino saat ini.

"Siapa?" Marsel bertanya. Menyingkirkan poni Javino yang menutupi mata.

Javino menggigit bibirnya, "ngga jadi," lalu menghela nafas.

"Who's girl..? Hm.. Yera?"

"Aku ngga tauuu! Pokoknya yang pas itu meluk mas." Javino menyerahkan pakaian yang lebih santai untuk Marsel.

"Terimakasih, tapi saya akan kembali ke kantor,"

Javino menghela nafas kembali. Ia menyalakan televisi, sengaja mengeraskan volume-nya agar Marsel tertarik dan bergabung dengannya.

Sebenarnya ada yang ingin Javino bicarakan lagi, namun Marsel tetaplah Marsel. Sosok es batu hidup yang tak bisa dibantah.

Marsel menghampiri Javino, menarik rahang si manis lalu mengecup bibirnya singkat.

"Jangan menangis. Pergilah berbelanja dengan Hevan, uang sudah saya transfer." Ujar Marsel. Lalu mengambil kembali dasi yang sempat Javino letakkan diatas meja riasnya.

"Kalau aku mau beli waktunya mas, gimana?"

.

.

.

.

Seperti kata Javino tadi, ia kini berada di pangkuan Marsel. Hanya mengobrol ringan, menyampaikan beberapa masalah yang menghantui otak masing-masing.

Keduanya tidak berada dirumah, namun di kantor milik Marsel. Di ruangan yang berdinding kaca, menampilkan gedung pencakar langit yang indah nan mewah.

"Aku mau nanya sama mas, sih.. tapi aku--" Javino menatap wajah Marsel yang menatapnya juga, mengerikan.

"Gak jadi deh, serem."

Marsel hanya mengangkat bahunya acuh. Toh Javino sendiri yang akan cerita nantinya.

Keduanya lanjut mengobrol, Marsel juga sesekali menimpali. Tangannya sibuk menanda tangani berkas-berkas yang menumpuk di mejanya.

Ponsel yang tadinya senyap kini berdering, asal suara tersebut dari ponsel Javino sendiri. Dan setelah dilihat, ternyata panggilan dari nomor yang tak ia kenal.

Keduanya saling melirik. Marsel hanya mengangkat bahunya acuh. Dan Javino yang bingung harus mengangkat atau tidak.

Di ketuknya tombol berwarna merah, menolak panggilan tersebut. Namun tak lama ponsel itu berdering lagi, dari nomor yang sama.

"Angkat. Loudspeaker."

Javino mengangguk, lalu menggesek ke atas ikon berwarna hijau itu dan memencet speaker. Sesuai dengan perintah Marsel.

"Halo sayang.."

Javino melotot. Apa-apaan orang itu?!

Ia takut Marsel salah paham, dan benar saja. Wajah datar itu kian menajam. Rahangnya mengeras, dari sorot matanya yang tajam mengilat.

Mata Marsel melirik kearahnya, disitulah Javino paham jika Marsel sedang bertanya,

Siapa dia?

Javino sontak menggeleng, panik bukan main sekali dirinya ini.

"Kamu nggak kesini nih? Om kangen goyangan kamu, sayang."

Mata Javino kembali melotot. Ia sangat takut jika Marsel akan salah paham. Bahkan, ia saja tak tau siapa orang yang berperan sebagai 'om' itu.

Tak tahan, Marsel mengambil ponsel Javino.

Prang!!

Ponsel mahal itu pecah menjadi berkeping-keping setelah Marsel melemparnya ke dinding di sampingnya.

Dari sini, Javino sadar.

Jika Marsel tengah cemburu, marah, dan...

Berubah menjadi wujud asalnya?

.
.
.

GUYSSS I'M BACKKKK 🍭😁😖😖
ada yang kangen aq g

maaf bgt baru up setelah satu bulan gak up yaampuuunn :''''

moga gak bosen deh sama ff aku ini 😖😁😁🍭🍼🎀🎀

Perjodohan || MarkNoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang