26. Dasar wanita aneh

8.2K 532 10
                                    

"Aku beneran gak tau dia siapa, mas."

Perdebatan antara suami-istri itu masih saja berlanjut. Kemarin, setelah panggilan tak jelas itu, adu mulut dimulai.

Lebih banyak Javino yang berusaha menjelaskan. Lalu Marsel, dia tak banyak bicara. Tetapi sekali bicara, percayalah. Kata-katanya sangatlah menusuk hati.

"Aku aja gak punya kontak banyak. Cuma mas, mami, papi, papa, papa, Hevan, kak Nero, terus udah, itu aja. Aku juga gak tau, sumpah, mas. Aku beneran gak tau dia itu siapa.."

Maid dan semua pembantu diliburkan selama dua minggu. Entah apa gunanya, mungkin agar cek-cok mereka tak didengar?

Marsel tetap pada pendiriannya. Javino pun semakin tersulut emosi. Ia menahan diri sekuat mungkin agar tak kelepasan membanting barang yang berada di dekatnya, seperti vas dan piring didepannya.

Tangan Marsel mengepal, urat-urat menonjol pada tangannya yang kekar. Javino melihatnya, dengan posisi berhadapan seperti ini mereka hanya dibatasi oleh meja makan saja.

"Aku--"

"Shut the fuck up, Javino!"

Javino mengatupkan bibir. Marsel memang tak membentaknya, namun nada tinggi yang digunakan lelaki itu membuatnya terkejut. Apalagi lelaki yang berstatus sebagai suaminya itu melangkah, mendekatinya. Sontak tubuhnya bergetar, melangkah mundur seiring dengan langkah Marsel yang semakin mendekat.

"B-berhenti.."

Tanpa sadar, Javino mendorong gelas disebelahnya. Otomatis gelas tersebut terjatuh dan menimbulkan suara pecahan yang nyaring.

Gelas kaca itu terpecah menjadi kepingan beling. Seolah disadarkan dari lamunan, tubuh Marsel terperanjat. Seperti terkejut dengan apa yang baru saja dia lakukan.

.

.

.

.

"---ya terus emangnya kalo aku jujur, aku jelasin sampe mulut aku berbusa, sampe aku pingsan, bahkan sampe aku mati, mas bakalan percaya? Engga."

"Javino--"

"Diem dulu, mas. Aku belum selesai ngomong."

Javino kembali menjelaskan kepada Marsel tentang panggilan dari nomor yang tidak diketahui waktu itu. Lagi dan lagi, Marsel masih saja menganggap bahwa penjelasan Javino itu hanyalah tipuan karena Javino itu merupakan pengarang handal.

"Terserah mas aja, aku muak."

Javino memutar badannya, lalu berjalan menaiki tangga. Berharap-harap jika Marsel berlari lalu menyusulnya seperti drama-drama yang ia tonton.

Ternyata dugaannya melenceng. Marsel tidak menyusulnya, lelaki itu justru berjalan menuju pintu, menyambut wanita yang tiba-tiba masuk kedalam rumah.

"Saga~ how are you? I miss you so much, saa!" Tanya wanita itu. Caranya berpakaian sangatlah anggun, ditambah aksesoris mahal yang tentunya dimiliki oleh Javino juga.

"I'm fine, Rara. Cantikku ini akan pergi kemana setelah ini, hm??"

Javino mengintip dari lantai atas. Apa-apaan itu?! Dan.. 'cantikku' ?!

"Dasar bajingan tengik! Semua cowok sama aja!" Teriak Javino kesal.

Kakinya berjalan dengan berhentak, menandakan seberapa kesal dirinya sekarang.

Lalu, membawa arah kakinya menuju kamar. Namun sepertinya kamar bukan tempat yang baik. Mood nya sangat buruk.

Javino murung.

Wanita yang datang tak di undang itu masih berada didalam rumahnya ini walaupun sudah berjam-jam berlalu. Ditambah Marsel yang seperti oke-oke saja dengan kedatangan wanita tak diundang itu, justru sorot kebahagiaan terpancar pada manik Marsel.

Untuk mengintip saja Javino enggan. Ia malas melihat pemandangan menjijikan seperti itu. Walaupun tak dipungkiri jika dirinya sangat penasaran dengan wanita itu.

Javino kini berada di lantai tiga rumahnya, berniat untuk membaca buku-buku. Sekaligus menghindari dua manusia yang sedang temu kangen.

Buku dengan sampul berwarna cokelat tua ia raih. Buku itu nampak tua, terbukti dari debu yang tebal pada buku tersebut.

Javino menggeser kursi, duduk diantara salah satu kursi didepannya. Kemudian, membuka halaman demi halaman buku yang tampak menarik di pangkuannya.

Ini ceritaku.

Judul buku tersebut nampak tak asing, Javino merasa familiar dengan buku itu.

.

.

.

.

Javino POV

Aku membaca halaman demi halaman buku di pangkuanku, rasanya seperti Dejavu.

Aku pernah membaca buku ini dengan kakak ku saat aku berusia sepuluh tahun. Sudah lama juga ternyata, haha.

Dipukul, dilempari dengan telur busuk, dihina, di caci maki, benar-benar hal yang sudah biasa bagiku.

Satu paragraf dari buku itu sama persis dengan hal yang dialami ku. Entahlah, aku tak tahu mengapa hidupku se-dramatis ini.

Mungkin aku terlalu larut dalam membaca, hingga tak terasa jika waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Aku belum mandi, tetapi bau badanku masihlah harum.

Aku beranjak dari dudukku, tak lupa aku menandai halaman yang baru aku baca. Dan, membawa buku itu ke kamar ku.

.

.

.

nanti malam aku up lagii, insyaallah 🫰🫰

Perjodohan || MarkNoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang