36. Experiment

9.3K 498 5
                                    

Pagi hari telah tiba.

Mentari pagi hari ini sungguh bersemangat untuk menunjukkan cahayanya yang tiada tandingannya. Siulan burung gereja terdengar dari balkon kamar sepasang suami-istri itu. Suara kendaraan dan obrolan orang diluar sana juga terdengar karena begitu keras mereka mengobrol.

Marsel memasang vest cokelat pada tubuhnya yang sudah terbalut kemeja. Kakinya melangkah, mendekati sosok manis yang masih pulas tertidur. Ah, bahkan saat tertidur seperti ini Javino masih terlihat sangat menawan.

Marsel menekuk lutut, membuat tubuhnya sejajar dengan wajah Javino. Lalu, memberikan kecupan pada dahi, kelopak mata yang masih terpejam, dan bibir yang mengerucut lucu itu. Kemudian, barulah Marsel menggoyangkan pelan tubuh yang tergulung selimut tebal itu sembari menggumamkan kata 'bangun' dan kata-kata manis lainnya.

Perlahan, mata yang terpejam itu terbuka. Manik cokelat tuanya menyipit, menyesuaikan cahaya yang mencoba memasuki pengelihatannya. Barulah ia meregangkan otot, mengarahkan tubuhnya untuk duduk dengan perlahan.

"Gosok gigi? Saya tunggu disini." Marsel mendudukkan dirinya diatas sofa, kemudian menyalakan televisi dan memilih acara pagi ini. Javino hanya mengangguk, berjalan dengan lemas menuju kamar mandi.

Tak lama, pemuda ber-piyama pink itu memunculkan diri dengan wajah yang lebih segar. Lalu mengajak Marsel untuk segera turun, takut jika lainnya sudah menunggu.

.

.

.

.

Kini, rumah besar itu terasa sepi. Walaupun masih ada Hevan, Clevio, ibunya, mertuanya, dan Gaven, tetapi terasa begitu sunyi bagi Javino.

Ngomong-ngomong, mereka sedang menonton drama romantis dilayar lebar didepannya. Hanya bermodalkan proyektor milik Gaven yang sengaja dibawa dan semangkuk besar pop corn karamel, semuanya begitu menyenangkan. Tetapi kelamaan, rasa bosan menyelimuti semuanya. Gaven sudah tertidur, Hevan, Javino, dan Clevio masih memikirkan harus apa selanjutnya.

"Eksperimen di dapur yuk?" Clevio melontarkan usulan yang di angguki Hevan dan Javino, kemudian ketiga submissive itu berjalan beriringan menuju dapur. Biarkanlah Gaven menggali alam mimpi lebih dalam.

Ketiganya memikirkan apa yang akan mereka buat sore ini, bermodalkan ponsel masing-masing ditangan mereka, berselancar internet mencari resep yang cocok.

"Cheesecake, spicy chicken wings, strawberry pudding, croissants, macaroon, chocolate crepe, and mango juice. Setuju?" Usulan dari Javino disetujui kedua orang lainnya.

Menyiapkan bahan, menyiapkan alat, mengelap mangkuk dan sendok, memotong, mencuci, semuanya tersimpan apik pada memori ketiganya. Semuanya berjalan dengan lancar, terasa begitu cepat karena dilakukan bersama-sama.

Tak lama kemudian Tena dan Thiway menyusul, bergabung untuk membuat mochi dan ayam geprek. Sangat lengkap. Hingga hari mulai petang, semuanya lengkap sudah. Makanan tersaji diatas meja, orang-orang dari kantor sudah mendudukkan diri mereka diatas kursi.

Ini hanyalah makanan ringan tapi tetap saja, jumlahnya sangat banyak untuk dimakan bersama-sama. Untungnya hasil percobaan hari ini berhasil, rasanya memuaskan seperti yang diharapkan.

Javino menyantap cheesecake-nya dalam diam, Marsel yang disebelahnya setia mengunyah kue yang sama dipiringnya. Keduanya meminum jus mangga dengan gelas yang sama.

30 menit berlalu dengan cepat, Hevan dan Nero sudah berpamitan untuk pulang terlebih dahulu. Semuanya memaklumi, pengantin baru itu mungkin membutuhkan waktu berdua?

Satu persatu keluarga mulai kembali kerumah masing-masing, meninggalkan sepasang suami-istri itu di depan rumah. Javino masih setia melambaikan tangannya hingga tiga mobil mewah itu tak lagi nampak dipekarangan rumahnya.

Wajah cerianya langsung berganti murung, Javino menurunkan tangannya. Berbalik badan hingga berada didepan Marsel, dengan bibir yang melengkung kebawah.

"Sepi, gak seru." Kemudian memeluk tubuh Marsel, menggusakkan kepalanya pada dada suaminya.

Diusapnya lembut kepala bersurai pink itu, lalu berganti mengecup pucuk kepala Javino. Membuat merah pudar mewarnai pipi Javino.

"Ayo tidur."

Javino menganggukkan kepalanya, mulai mengikuti Marsel layaknya anak ayam dan induknya.

Marsel menutup pintu, tak lupa menguncinya. Pelayan dirumah sudah dipulangkan, hanya tersisa dua manusia itu saja.

Ting.. tong!

Langkah Javino tertahan. Ia berbalik badan, hendak membuka pintu.

"Mas ke kamar dulu, aku aja yang bukain pintu."

Anggukan dari Marsel Javino dapatkan. Ia bingung, tidak mungkinkah manusia-manusia tadi kembali lagi?

Kakinya kembali melangkah setelah menatap Marsel yang berjalan menuju dapur, bunyi dari bel juga tetap bersuara. Dalam diam, Javino membuka pintu itu.

Tubuhnya seperti ditimpa ribuan batu, nafasnya tercekat ketakutan. Didepannya, orang yang tak ingin ia lihat akhir-akhir ini berada tepat didepannya.

Bima, ayahnya itu berdiri dengan senyum manisnya.

Tapi, bukan senyum manis yang dilihat Javino. Melainkan senyum menyeramkan yang baru pertamakali ia lihat.

.
.
.

akhirnya ak apdet 😁☝🏻

Perjodohan || MarkNoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang