04. Cincin

18.6K 1.2K 12
                                    

marsel pelit

| hri ini bli cincin, nnt sy jmpt

y |

Javino berdecih pelan membaca pesan dari Marsel yang disingkat-singkat, butuh perjuangan untuknya membaca pesan tersebut.

Javino kembali menyuapkan nasi goreng yang dibawakan oleh Thiway ke kamarnya karena ia sedang malas keluar, dan Thiway memaklumi hal itu.

Ngomong-ngomong ini sudah pukul sembilan siang, Javino sudah mandi dan bersiap-siap untuk membeli cincin pernikahannya nanti.

Sambil menunggu Marsel datang, Javino memilih untuk menulis di buku hariannya. Setelah merasa cukup, Javino kembali menyembunyikan buku tersebut disela-sela buku tebal lainnya.

Ia mengambil lima bungkus permen, serta sedikit memoleskan pelembab bibir pada bibirnya.

marsel pelit

| sy sdh smpai

Javino hanya membaca pesan tersebut, lalu keluar dari kamarnya, tak lupa untuk mengunci pintu kamarnya. Kemudian berjalan menuju keluar rumah.

"Ayo cepat. Saya ada meeting." 

"Kalo ada meeting kenapa nggak besok aja? Disuruh milih tuxedo juga kata mama," Tanta Javino heran.

"Mendadak."

"Terserah," Gumam Javino hampir menyerupai bisikan.

Mobil audi tersebut menuju toko perhiasan yang lumayan jauh dari kediaman Javino. Dan selama perjalanan, tak ada satupun yang berbicara, bahkan suara hembusan nafas Javino yang terdengar berat sekalipun.

Langit hari ini lumayan mendung.

Javino mungkin terdengar jahat jika mengatakan ia membenci hujan, padahal hujan adalah rahmat dan rezeki dari tuhan. Bahkan saat ia menonton anak-anak kecil bermain hujan bersama teman-temannya, ia merasa iri. Kapan dirinya bisa seperti itu?

Diguyur oleh dinginnya rintikan hujan, saling menciprati teman dengan air yang menggenang, berlarian serta tertawa riang gembira bersama teman-teman yang lain.

Tapi tunggu, teman-teman?

Ah, Javino lupa jika ia tak memiliki teman.

.

.

.

.

"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" Sambut salah satu pelayan yang mendatangi keduanya.

Javino tersenyum kaku, "Iya.. cincin untuk pernikahan dimana ya, kak?"

"Mari, ikuti saya,"

Javino berjalan dibelakang pegawai tersebut, ia melirik Marsel yang hanya diam dan juga sedang menatapnya.

"Kami memiliki tiga model cincin untuk pernikahan. Yang pertama ini, cincin dengan berlian yang menghiasi setiap lingkar cincin ini," Jegawai tersebut sembari menunjukan cincin yang dimaksudnya.

Javino menggelenb ragu, "Ini terlalu... feminim? Yang lain, kak."

"Baik, yang kedua, disini ada cincin yang bisa request insialnya," Pegawai perempuan itu menunjukkan cincin yang cukup bagus.

Javino tetap menggeleng, "Maaf, tetapi saya mencari cincin yang untuk pasangan sesama jenis.." Kata Javino menahan malu.

"Wah?! Benarkah?! Dimana calon anda?!" Tanyanya heboh.

Javino menunjuk Marsel, yang mana membuat pegawai tersebut semakin histeris.

"Maaf jika saya lebay, tetapi saya sangat senang jika ada pelanggan seperti kalian, menggemaskan sekali!! Kalian sangat cocok!" 

"Haha.. terimakasih,"

"Baik, ini cincin yang terakhir, cukup polos seperti cincin pernikahan pada umumnya," Cincin yang dimaksud ditunjuk, Javino mengangguk, menghadap Marsel untuk meminta saran.

"Terserah."

Javino mengumpat didalam hati, kemudian berbalik badan, mengangguki perkataan pegawai itu untuk tawaran cincin terakhir.

"Saya mau yang ini saja, kak."

"Baik, silahkan tunggu,"

Javino mengangguk dan tersenyum, tak lama pegawai tersebut kembali lagi dengan bill cincin tersebut. Kemudian langkahnya menuju kasir untuk membayar.

"Totalnya 52.090.000. Cash or debit, kak?"

Javino melongo mendengar total cincin yang sekarang berada di dalam paper bag yang dibawanya, sebelum suara berat Marsel menyadarkan dirinya.

"Ayo pulang."

"Udah bayar?" Tanya Javino.

"Sudah."

Javino hanya dapat mengikuti Marsel dari belakang, keduanya memutuskan untuk pergi ke butik milik Thiway.

Mobil tersebut melaju menuju butik, dan seperti biasa, didalam mobil hening tak ada obrolan.

Drtt.. drrtt..

Marsel mengambil ponselnya didalam saku, mengangkat telepon tersebut. Sekarang ia berkendara hanya dengan satu tangan, membuat Javino tak bisa mengendalikan ekspresi nya.

Ia akui, Marsel sangat tampan jika berkendara dengan satu tangan.

"Saya harus ke kantor sekarang," Ujar Marsel. "Kamu, ikut." Lanjutnya.

Javino bahkan tak sadar jika Marsel sudah selesai berbicara dengan lawan telponnya, ia terlalu larut dalam ketampanan sosok Marsel.

"Hah? Aku ikut? Nggak ah. Kan katanya mau ke butik? Gimana sih?"

"Saya tidak menerima penolakan." Kata Marsel dengan nada dingin. "Selesai rapat kita baru ke butik."

"Terserah, jahat."

.

.

.

Perjodohan || MarkNoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang