n: italic = flashback
.
.
.Javino tak pernah merasa ketakutan dengan orang yang ia sayangi sejak kecil.
Tapi itu dulu, sekarang semuanya berbeda.
Lidahnya sangat kelu untuk berteriak, bahkan mengucapkan sepatah katapun ia tak bisa. Tubuhnya juga seolah-olah terpaku, terpaksa untuk berdiam diri seperti dihipnotis.
"Denger-denger anaknya papa lagi hamil, ya?" Lelaki itu berkata lebih dulu. Javino masih saja diam tak berkutik.
Lelaki itu tampak kecewa karena Javino tak menjawab pertanyaannya.
"Papamu ini tanya, lho."
"K-kamu bukan papa aku."
Javino langsung meneteskan air matanya setelah berujar demikian. Ia tak tahu mengapa dari banyaknya kata yang ia gunakan untuk menjawab pertanyaan itu dengan kata-kata yang cukup menusuk hati Bima.
Melihat raut wajah Bima yang nampak kecewa dan juga kebingungan, Javino akhirnya mendongak menatap ayahnya itu.
"Papa itu bertanggung jawab, menjadi kepala keluarga yang berperan sebagai tameng anak dan istrinya. Bukan sebagai penghancur kepercayaan orang yang disayang."
"Apa pantas lelaki didepan Javino ini disebut papa?"
Netra Javino berkaca-kaca, nafasnya semakin sesak seiring dengan kalimat yang terasa begitu nyata walaupun sudah hampir 13 tahun lamanya.
"Bahkan setelah lelaki itu membunuh seseorang didepan anaknya sendiri?"
.
.
.
.
Javino kecil sudah siap dengan pakaian tidurnya yang menggemaskan. Botol susunya sudah habis tandas karena rasa haus yang melanda tenggorokannya.
Kaki kecilnya berjalan menuju tempat tidur dirumahnya kakek dan neneknya.
Sekarang adalah libur panjang, keluarga Jungga memilih untuk menghabiskan waktu bersama-sama dengan keluarga lainnya. Sudah lama juga mereka tidak berkumpul-kumpul seperti ini.
Namum ditengah-tengah perjalanan menuju kamar tidur, Javino kecil tak sengaja melihat seorang lelaki dan seorang perempuan didalam gudang tak terpakai dibelakang rumah.
Diusianya yang masih kecil, Javino sama sekali tidak takut dengan hal seperti itu. Mata sipitnya melihat kearah luar, dimana sanak saudara lainnya masih mengobrol santai.
Karena penasaran, dari cela pintu yang sedikit terbuka itu, Javino kecil melihat dengan kedua matanya sendiri.
"No... P-papa b-bunuh nenek..?"
.
.
.
.
Javino kecil sudah duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, nilainya yang bagus dan tak tercoret tinta merah pada raportnya membuatnya dapat memasuki kelas unggulan khusus sekolah dasar, dan mengikuti beberapa olimpiade serta perlombaan akademik maupun non akademik.
Bel pulang sudah berbunyi 2 jam lalu, Javino kecil dan dua temannya yang juga mengikuti lomba berdiri berjejer didepan gerbang, menunggu jemputan.
"Vino, aku pulang dulu yaa! See you again!" Bocah bernama Ellio memasuki kuda besinya sembari melambaikan tangan kepada Javino.
Javino tersenyum, membalas melambaikan tangannya di udara.
Beberapa menit kemudian, Geola─ salah satu temannya pun dijemput, hanya tersisa Javino sendiri. Satpam sekolahan juga sudah pulang.
Kepalanya yang terpasang topi mendongak, menatap langit yang kian menggelap seiring dengan warna oranye yang bergantikan dengan hitam. Hujan sebentar lagi akan turun, tapi mengapa belum ada yang menjemputnya?
"Aku jalan kaki aja, deh."
Walau berkata demikian, Javino kecil tetap saja memikirkan berapa lama waktu yang harus ia tempuh dari sekolahan hingga rumah? Menggunakan kendaraan saja bisa sampai 20-30 menit.
Jalanan tak begitu ramai, hanya beberapa orang yang berlalu-lalang untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.
Javino kecil dapat merasakan derap kaki yang dekat dengan tempat dirinya berjalan, seperti ada seseorang yang mengikutinya.
Lari!
Satu kata yang Javino dengar, entah darimana suara itu berasal. Kakinya berlari, sedikit kesusahan karena membawa tas yang cukup besar dan tas dimana kotak bekalnya diletakkan.
Javino tak tahu kemana kakinya akan membawanya pergi. Melihat gang kecil yang terletak disebelah tong sampah besar, Javino kecil segera berbelok menuju gang itu.
Disitulah ia dapat melihat siluet seorang lelaki, tangannya mencengkram erat kerah kemeja yang digunakan lelaki paruh baya yang satunya.
Tangan kanannya terdapat pisau yang sudah berumur darah, bahkan lelaki itu dengan tak manusiawi menusuk bola mata orang itu.
"Sekarang... Kakek..?"
.
.
.
.
Javino terduduk diatas ranjangnya, keringat dingin membanjiri pelipisnya. Tangannya bergetar─ ah, seluruh tubuhnya bergetar hebat.
Kakinya ditekuk, hingga Javino dapat menyembunyikan kepalanya diantara lututnya.
"Hiks.. pergi!"
Javino tak mengerti, mengapa mimpi itu terus-menerus menghantuinya? Sialnya itu bukan mimpi biasa.
Marsel yang baru saja keluar dari kamar mandi berjalan mendekati Javino, mengusap kepala itu dengan perlahan. Kemudian, mengangkat dagu Javino hingga wajah sembab penuh kelelahan itu terpampang dihadapannya.
Ditariknya kepala itu hingga berdekatan dengan wajahnya, menautkan bibir keduanya kedalam pangutan yang hangat.
.
.
.pramu uy uy
EH BTW GAK NYANGKA BAMGET UDAH MAU 200K PEMBACAAA 😭😭🤸🤸🥺🥺tengkyu oll ☹️❤️🫰
![](https://img.wattpad.com/cover/343577076-288-k323798.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan || MarkNo
RomanceSi manja Javino dijodohkan dengan si cuek bebek Marsel? benar-benar diluar dugaan seorang Javino. ─ bl, gay, istilahnya cowo sama cowo. ─ harsh word, dirty talk, mature content. ─ baku + non baku. ─ lokal. ─ fiksi! ─ jangan salpak please! RANK 🏅ran...