27. Ternyata dia

9.4K 597 9
                                    

Hari semakin gelap, semakin bertambah rasa penasaran Javino pula.

Kini ia dan Marsel, ditambah wanita yang sempat disebut 'cantikku' oleh Marsel itu sedang makan malam bersama. Dari gerak-gerik wanita itu, terlihat sangat rapi dan elegan. Terbukti dari cara ia melahap nasi dengan sayur tersebut dengan anggun.

Hening di meja makan, hingga acara makan malam tersebut selesai. Javino seperti biasa menyuci piring. Namun anehnya wanita itu mengikutinya, sekalisn membawakan piring bekasnya ia makan.

"Biara saya aja yang cuci, kak."

Entahlah. Javino hanya mengira jika wanita didepannya ini seumuran dengan suaminya.

"Gak usah, biar gue aja."

Javino hanya mengangguk dan melanjutkan acara menyuci nya.

"Oh iya, lo.. istrinya Marsel kan?" Tanya nya dan Javino mengangguk.

Senyum senang terlukis pada bibir wajita itu.

"Akhirnyaaa! Gue ketemu sama lo!" Riang wanita itu.

Javino masih mengerutkan dahi. Maksud dari orang itu apa ya?

"Maksudnya?"

"Santai aja sama gue. Gue gak tua-tua amat kok."

Javino mengangguk kaku. Meletakkan piring ditangannya pada tempatnya, lalu mengajak wanita itu untuk duduk di taman belakang rumah.

"Gue belom ngenalin diri, ya?"

Wanita itu berdehem. "Gue Yara, dua puluh dua tahun, temen masa kecil Marsel."

Bibir Javino membentuk huruf 'o', lalu mengangguk kembali.

"Pertama, lo jangan cemburu sama gue. Gue gak suka pisang. Juga, gue udah punya tunangan."

"Kedua, gue kesini-- bukan rencana sih, cuma mampir aja. Soalnya mumpung proyek gue deket dari sini, jadi yaudah gue mampir. Gak keberatan kan?" Tanya Yara diakhir kalimat.

Javino mengangguk lagi. Memang, ia sangat tak keberatan jika Yara disini. Tetapi, lebih baik Yara segera pergi. Hehe.

"Last, tadi lo pasti denger Marsel bilang 'cantikku', kan?" Javino mengangguk.

"Tenang aja, itu bukan ke gue kok. Lagian gue juga gak suka dipuji cantik." Ujarnya. "Cantikku itu, panggilan sayang buat anak gue-- eh mana dia? Bentar."

Javino menunggu Yara kembali sembari memikirkan semua perkataan Yara. Entahlah, itu membuatnya pusing.

"This, kucing gue. Yang udah gue anggap sebagai anak sendiri."

Javino tak dapat menahan gemas dengan hewan berbulu lebat itu. Kulitnya yang putih sangat lucu. Javino ingin memegangnya. Tetapi ia alergi dengan bulu kucing.

"Cute :("

"Lo lebih lucu, No."

Keduanya tertawa. Ternyata seru juga, dan pirikan negatif yang sempat mampir ke otak Javino hilang begitu saja saat ia mengobrol dengan Yara.

.

.

.

.

"Kak Yara engga nginep??"

Kini saatnya berpisah. Javino dengan ekspresi sedihnya berdiri didepan gerbang. Mengantarkan Yara yang harus langsung kembali pulang ke tempat tinggalnya.

"Enggak dong, cantik. Lain kali gue nginep, gue ajak tunangan gue yang cantiknya nyerempet sama lo."

"Huhuuu~ hati hati :("

Keduanya melambaikan tangan, taxi yang ditumpangi Yara pun menjauh. Hanya bersisa asap yang keluar dari knalpot mobil tersebut.

Javino berbalik badan, bertepatan dengan itu, ia menabrak sesuatu yang keras. Dan ternyata itu Marsel, yang ia tabrak tadi ternyata dada suaminya sendiri.

"Aw!"

Javino mengusap hidungnya, kepalanya mendongak, mata mereka bertemu.

"A- um.. maaf, aku mau─"

Javino tak melanjutkan perkataannya. Justru ia panik, kaos putih yang digunakannya terkena darah. Darah yang keluar dari hidung mancungnya sendiri.

Javino berlari, mengambil tissue, lalu menyumpalkan tissue tersebut pada lubang hidungnya.

"Marahnya nanti aja... Aku pusing,"

Javino menyenderkan kepalanya pada dada Marsel yang sudah duduk disebelahnya. Melilitkan kakinya pada kaki Marsel, lalu menutup mata.

Kepalanya pusing, tetapi tak terlalu terasa. Mungkin hanya efek dari mengantuk?

Javino hanya bisa pasrah saat Marsel membawanya menuju kamar. Ia tak memperdulikan apa pun. Tujuannya hanya satu, yaitu tidur dengan nyenyak.

.
.
.

Perjodohan || MarkNoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang