Waktu berlalu begitu cepat, kini kandungan Javino sudah berusia tiga bulan. Perutnya juga sedikit membuncit, tapi Javino senang akan itu. Yang tandanya ia ditemani kemanapun oleh sang buah hati jika kemana-mana.
Javino sekarang berada di hadapan rak penuh buku. Ia ambil buku yang diletakkan paling atas, kemudian mendudukkan dirinya diatas kursi piano.
Javino memang sejak kecil sangat ahli bermain dengan alat musik, hanya saja ia terlalu malas untuk melakukan itu semua. Padahal puluhan piagam yang ia hasilkan dari beberapa lomba yang berunsur musik berjejer dirumahnya dulu.
Jemarinya mulai menekan satu persatu tuts piano didepannya, mulutnya menggumamkan lirik yang terdengar acak, tetapi tetap merdu didengarkan.
"Kabar mama gimana ya?" Javino kembali melamun setelah menyelesaikan bermain piano. Tangannya kembali meletakkan buku yang ia ambil tadi ke tempat semula.
Jika dipikir-pikir sudah dua bulan sang ibu tak memberi kabar, Javino memaklumi itu. Mungkin ibunya membutuhkan waktu untuk menenangkan diri di Singapore.
"Asu ah."
Javino memejamkan mata, mengatur nafasnya yang sedikit memburu. Untungnya ia sempat membawa air sebelum kesini.
"Are you okay?"
Pertanyaan itu tiba-tiba terdengar dari arah belakang, disana Marsel sudah berdiri dengan tas kerjanya. Mungkin suaminya itu pulang lebih awal?
"Yap, cuma sesak aja." Balas Javino. Perutnya diusap oleh tangan kekar sang suami, rasanya hangat dan Javino suka.
"Butuh psikolog, sayang?"
Ya, jangan heran lagi jika Marsel semakin manis akhir-akhir ini. Panggilan 'sayang' atau panggilan lainnya sudah akrab dengan diri Javino sendiri. Walaupun terkadang masih saja salah tingkah sendiri.
"I need it, but not now. Can i?" Javino membalas sembari menatap luar jendela, cuaca sangat sejuk walaupun sudah memasuki jam makan siang.
Tubuh Javino dipeluk dari belakang dengan tangan Marsel yang masih setia mengelus perut Javino yanh sedikit menonjol.
"Bisa, senyaman kamu. Saya akan menggantikan posisi psikolog itu jika kamu mau."
Javino sulit memahami perkataan Marsel, tapi kepalanya memberi anggukan pelan.
"Oh, mas udah makan?"
"Saya ingin masakan kamu."
Javino mengangguk kecil, "lepas dulu tangannya, aku mau masak buat mas."
Marsel mengecup perut Javino, kemudian berganti memberi kecupan pada dahi dan pipi sang istri. Tak lupa benda kenyal kesukaannya.
"Can i request for lunch?" Tanya Marsel setelah keduanya menginjakkan kaki di dapur.
Javino memasang apronnya, "boleh, mas mau apa?"
"Sup ayam saja," Marsel menjawab sembari membantu Javino memasang apron.
"Itu aja?" Marsel mengangguk. "Oke, aku bikin satu porsi aja ya?"
Anggukan kembali Marsel berikan. Sembari menunggu sup buatan sang istri jadi, Marsel menggunakan waktu itu untuk memandang setiap gerak-gerik yang Javino lakukan.
Bermain ponsel? Big nope! Marsel bukan orang yang akan bermain gadget jika sedang berdua dengan orang yang spesial. Terkecuali mengambil gambar jika sedang quality time, barulah ia menggunakan ponselnya untuk mengabadikan momen bersama sang istri.
Javino banyak berubah setelah hidup bersama Marsel. Ia dulu sangat takut dengan pisau, sekarang pisau sudah akrab dengan jemarinya yang lentik itu. Semuanya berkat Marsel yang selalu membantunya, berperan lagaknya koki terkenal dan juga bisa berubah menjadi dokter penenang saat mentalnya sedang tidak baik-baik saja.
Begitu pula Marsel, ia banyak berubah setelah mengenal Javino. Ia merasa hidupnya lebih berguna untuk orang lain. Sifatnya pun lebih hangat, layaknya es batu yang terkena sinar matahari. Sinar matahari itulah yang ada di dalam diri Javino.
Marsel akui, Javino sangat berarti baginya. Begitupun Javino, Marsel juga sangatlah penting di hidupnya.
Mereka saling membutuhkan untuk melengkapi satu sama lain.
-----
Cuaca dingin seperti ini memang sangat cocok untuk memakan sesuatu yang hangat. Setelah makan sup bersama, keduanya memasuki kamar dan duduk di balkon untuk menikmati dinginnya angin yang sangat sejuk.
Langit tengah mendung, warna abu-abu sangat kentara sekali jika hari ini akan turun hujan.
Javino biasanya jika mendung seperti ini lebih memilih untuk tidur, tapi terkadang ia melukis. Melukis abstrak yang menggambarkan keadaan dirinya sekarang.
Melukis bukanlah hobinya, tetapi dengan melukis ia merasa lebih baik karena telah meluapkan rasa yang mengganjal didalam hatinya dengan cara melukis.
"Nanti kalau aku udah nggak gemetar sama hujan, aku mau mandi hujan pokoknya." Ucap Javino tiba-tiba. Ia sangat ingin merasakan bagaimana serunya mandi hujan.
Terkadang ia sangat iri dengan anak-anak seusianya yang nampak seru mandi hujan. Tangannya pernah terkena beberapa tetes air hujan, rasanya sama seperti air pada umumnya. Namun entah apa yang dicampurkan oleh air itu hingga air hujan terasa lebih sejuk dan segar daripada air lainnya.
Marsel hanya tersenyum tipis, dielusnya tangan Javino yang terasa hangat. Mengecupnya pelan dengan hangat.
"Waktu itu akan tiba."
Javino menatap Marsel teduh. "Tapi kapan?"
Marsel ikut menatap Javino dengan senyum tipisnya.
"Kapan kapan."
----
lagi suka yang kalem kalem 🥰😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan || MarkNo
RomanceSi manja Javino dijodohkan dengan si cuek bebek Marsel? benar-benar diluar dugaan seorang Javino. ─ bl, gay, istilahnya cowo sama cowo. ─ harsh word, dirty talk, mature content. ─ baku + non baku. ─ lokal. ─ fiksi! ─ jangan salpak please! RANK 🏅ran...