Square 2

433 67 5
                                    






Tau gak sih,

Sekarang Wendy ada di posisi bingung, teman duduk makan ramennya kebanyakan diam.

Kaya ogah-ogahan diajak ngobrol. Irene ternyata sikapnya begini, Wendy baru tau. Ajaibnya, mereka bertahan duduk disana hampir satu jam.

Meski gak ada tektokan ringan, atau Wendy yang selalu bersuara lebih dulu.

Sumpah rasanya capek sama orang modelan Irene begini. Kan Wendy jadi punya pikiran lain. Karena Irene yang datang sebagai pacar dan Irene yang ada duduk bareng dia sekarang itu bedanya 1000°c

Wendy jadi merasa rendah diri. Irene itu dokter forensik, gayanya oke. Mungkin Irene sebetulnya gak mau nyamperin dia kesini kalau bukan karena terpaksa.

Secara ya mereka punya perbandingan hidup yang jauh berbeda.

Wendy sedikit nyesel sama ajakannya ini. Ya Irene banyak diemnya sih, gimana  mungkin Wendy bisa berfikir positif dan optimis. Wendy tuh ekspektasinya tinggi sebelum dia telfon Irene beberapa jam yang lalu.

Bahkan waktu dia keluar dari tempat Taeyeon itu rasanya gak begitu berat, dia bela-belain beli paper bag ke toko aksesoris natal cuma buat beli itu supaya jaket Irene gak diberikan dengan telanjang.

“Kenapa cuma diaduk-aduk aja ramennya.” tanya Irene.

Wendy langsung lepasin sumpit dan sendoknya lalu tatap Irene sama mangkok kosongnya.

Kaget karena Irene bisa habisin makanannya lumayan cepet.

“Aku tiba-tiba kenyang.” gak kok ini jawaban bohong. Senyumnya Wendy juga bohong. Aslinya dia tertekan.

Sementara Irene gak sadar dan dengan santainya dia buang pandangan kedepan, lihatin koki yang sibuk platting misalnya.

Di isi kepala Irene yang semrawut itu ternyata ada sesuatu yang memberatkan pikiran.

Irene gak biasanya dia begini, acuhin orang, dia kebingungan. Irene gak sanggup diemin Wendy.

Tapi—kalau Irene bawel dan friendly takutnya malah nyiptain ikatan pertemanan yang benar-benar teman. Irene gak bisa bayangin itu. Wendy cukup jadi pacar sewaannya dia aja, jangan dibawa ke real life.

Wendy buang helaan panjangnya, dia lihatin mangkok ramennya sedih. Baru kali ini dia makan dengan rasa segan. Gak lagi-lagi deh kejadian begini dia rasain.

Ternyata semua orang sama, orang cuma butuh dia sebagai pacar sewaan, padahal Wendy juga butuh teman. Sadar sekali dianya salah narget orang, Irene memang bukan orang sembarangan yang bisa dijadikan teman.

“Sorry kak aku ganggu waktu kamu. Aku mau pulang, duluan yah.”

Kata pamit Wendy dibiarkan tanpa jawaban, Irene cuma ngangguk terus tutup mata rapat begitu Wendy beranjak bangun dan jalan buru-buru setelah usap bahunya lembut.





















;



Sesampainya Wendy di rumah, dia ceritain semua hari ini bareng Ibunya. Walaupun respon Ibu selalu kelihatan capek, tapi Ibu gak pernah nolak cerita anaknya setiap hari.

“Gaul itu boleh kok, sama siapa aja boleh. Tapi kita harus lihat batasan diri kita, kamu mau kan punya teman selain ibu?”

Kepala Wendy boleh nunduk, tapi kupingnya gak pernah mati untuk dengerin saran Ibunya.

“Iya, aku mau punya temen selain ibu.”

“Tapi kamu terlalu naif Wendy, kamu gak bisa samain orang lain dengan kita gitu aja. Kamu sama ibu terbatas oleh keadaan. Kamu harus paham itu. Pilih teman yang setara sama kita, jangan maksain sesuatu yang sulit.”

Wendy lepasin jemari Ibunya setelah Ibu selesai ngomong. Ternyata iya; masalahnya memang dia terlalu naif. Terlalu percaya diri sama kemampuan dia yang kecil ini, pikirannya terlalu lurus bahwa semuanya pasti gak akan nolak untuk jadi teman.

Dia lupa batasan,

Lupa hubungannya dengan Taeyeon aja gak ada kemajuan sedikitpun, padahal terhitung dari mereka pertama kali ketemu sampai sekarang sudah nyaris 9 tahun bersama;—Taeyeon gak pernah punya keputusan soal status.

Habits (Wenrene) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang