Langkah kakinya kembali dibawa pulang, Wendy terus peluk tubuh gemetarnya sampai kedalam rumah.
Kaki Ibu terasa kebas, kesemutan dan berat. Anaknya masuk kedalam tanpa sapaan seperti biasa, pulang lebih awal dengan kondisi mengkhawatirkan.
“Wendy kenapa?”
Wendy gak menjawab, dia buka kancing bajunya sambil setengah jalan ke kamar mandi. Ibunya berusaha bangun dari kursi sekuat tenaga, kakinya gak berasa apa. Tapi setiap diajak jalan itu terasa berat dan ngilu diarea pinggul.
Lutut Ibu terus gemetar, susah payah dia jalan ke kamar mandi. Dan begitu kepalanya melongok kedalam, Wendy sudah basah kuyup terkena air dari shower.
Mereka saling menatap, disini bahkan Ibu gak tau anaknya itu nangis atau enggak. Wajah merah yang kentara, emosi seperti diujung kepala. Mungkin Wendy tahan emosinya pake air.
Badan bagian atasnya total telanjang, cuma menyisakan rok warna putihnya diatas lutut yang ikutan basah.
Ibu berwajah sedih, dia mendekat—ikut gosok kulit putih bersih anaknya pakai shower puff ke suluh badan.
“Ada apa, selagi ibu masih hidup. Ibu pengen kamu banyak cerita.”
Wendy beralih ambil shower puff nya dari tangan Ibu. Dia gosok kasar semua kulitnya dari mulai wajah, leher dan lengan. Air masih menyala, dan badan Wendy semakin basah.
“Aku gak suka Jamie pergi duluan, aku benci Jamie.”
Gak, Ibu tau sekali anaknya ini gak pernah membenci Jamie seperti apa yang baru aja Wendy bilang tadi.
“Jangan bilang yang aneh-aneh. Sekarang kita cuma berdua. Kamu milik ibu, dan ibu milik kamu.”
Isakan Wendy mulai keluar, emosinya pecah berantakan didepan Ibu yang sigap peluk tubuh bergetar anaknya erat sekali.
Rasanya Wendy ingin menenggelamkan diri di air yang penuh, tanpa adanya orang yang tau. Enggak itu Ibunya, Solji atau siapapun.
Kata-kata Irene lebih nyakitin dari kalimat bodoh yang selalu Taeyeon sebut untuk dirinya.
Wendy gak begitu kuat dibanding Jamie, kalau aja Jamie masih ada—pasti dia gak akan semerana ini. Wendy gak mampu jagain Ibunya, gak bisa bikin Ibunya lebih bahagia dari yang Jamie lakukan untuk keluarga.
Dan kalau takdir bisa ditukar balikan, Wendy ingin dirinya yang hilang dari muka bumi ini. Dan biarin Jamie yang masih hidup supaya bisa jagain Ibu mereka.
Wendy gak kuat nanggung semuanya. Jujur sejujur jujurnya. Saat semua orang dapat kebahagiaan dari apa yang dia lakukan, di sana Wendy mulai bertanya; siapa yang akan membahagiakan dia kelak?
Dunia terlalu berat sebelah. Seakan Wendy gak bisa masuk kedalam orang-orang yang berbahagia itu.
“Aku bergantung semua apa yang aku punya ditangan Irene bu, tapi dia malah berbalik badan dan anggap aku enggak ada.”
Sedih sekali, sakit sekali. Gara-gara background pekerjaan sialan ini, Irene jadi punya pandangan berbeda. Ini antara Wendy yang terlalu percaya atau Irenenya yang terlalu bodoh.
Karena menggantungkan hidup ditangan Taeyeon itu sama aja gak akan merubah apapun. Sepuluh tahun masih ditempat yang sama, tenaga dan waktunya terbuang percuma. Dan gak sejalan dengan prinsipnya sendiri.
;
“Mah,”
Tatjana menengok kebelakang sekilas, dia lepasin usapan halus tangan Irene di bahunya. Lalu kembali menatap ke depan, berharap siluet Wendy tiba-tiba muncul dari sana.
Ini sudah nyaris sepuluh hari Wendy mengabsenkan diri. Tatjana selalu menunggu, dengan lamunan disepanjang jalan rumahnya. Tapi Wendy gak kunjung terlihat selama itu.
Irene hela nafasnya sekilas, dia ikut melihat ke depan sama seperti Tatjana yang berdiri diambang pintu.
“Mama kangen wajah lucu Wendy di dapur. Enggak tau kenapa, Wendy seperti obat kesepian mama waktu kamu sibuk sama pekerjaanmu.”
Irene bungkam, sedikit benerin posisi berdirinya jadi lebih tegap. Tangan masuk kedalam saku celana cari hangat sore hari.
“Kita bisa cari orang lain sebagai pengganti Wendy. Supaya mama gak kesepian lagi di rumah waktu aku kerja.”
“Gak mau, gak ada yang satu selera masakan sama mama selain Wendy. Kamu sebagai anak mama aja gak pernah suka kan sama masakan mama.”
Irene putar bola matanya males. “Mah udahlah. Jangan bikin susah semuanya.”
Kali ini Tatjana gak menatap lagi ke depan, beralih ubah tatapannya untuk anak semata wayang yang mewariskan 87% rupa dari si Papa.
13% Tatjana didalam diri Irene itu cuma gender. Warna mata, cara tidur dan kepintaran. Gak adil, padahal yang rela pontang-panting membiayai dan membesarkan Irene itu ya Tatjana.
Tapi kelakuan sipat dan cara berpikir Irene mirip sekali Papanya.
Wendy adalah saksi hidup gimana interaksi keduanya kalau sudah di rumah. Selalu ingin lebih unggul dan hampir gak pernah punya jalan pikiran yang sama.
Irene senyum sekilas, dia ingat gimana frustrasinya Wendy waktu itu menghadapi dia dan Mamanya yang sama-sama gak mau mengalah soal pengetahuan.
Sekarang hari minggu sore, senyuman Irene kembali pudar dan dia remas tiga kertas tiket masuk ke Jurassic Park untuk Mama dan Wendy didalam saku celana.
Wendynya terasa jauh. Irene sadarnya telat waktu kemarin, dari semenjak Wendy pergi sampai sekarang—Irene baru sadar kalau Wendy pasti marah dan gak terima sama ucapannya yang lumayan kasar.
Irene hanya terpancing emosi aja, dia gemetaran kalau sudah ada yang gamblang tentang pekerjaannya. Irene malu dan gak mau mengakui kalau dia memang kriminal di depan Wendy.
Bibir bawahnya digigit sekilas, nafasnya dihembuskan didepan si Mama lalu Irene sedikit menunduk dan gak mau bertatapan.
“Mah, aku mau nanya.”
“Tanya apa,” tangan Tatjana mulai melipat didepan dada. Sore mereka masih panjang, dan Tatjana harus kecewa lagi karena waktu menunggu Wendy sudah habis.
“Selain darah menstruasi dan melahirkan, apa vagina bisa berdarah waktu berhubungan intim?”
Wajah Tatjana langsung freak, pertanyaan yang gak biasa dari anaknya ini sukses menimbulkan rasa curiga.
“Kenapa kamu nanyain itu, kamu kan forensik. Kamu pintar dan paling anti tanya sama mama.”
“Mah, plis. Jawab aja. Aku gak mau cari tau sumber kekuranganku walaupun aku ini forensik. Mama tau kan aku masih gak bisa terima kalau aku ini punya Rokitansky.”
Alasan aja lu mek.
“—aku gak pernah menstruasi jadi aku gak tau mana darah menstruasi dan darah hasil dari hubungan intim.”
Sebentar, kasih Tatjana waktu untuk berfikir kemana arah pembicaraan anaknya ini.
Anaknya gak pernah mengeluarkan darah, jadi darah siapa yang Irene maksud.
“Darahnya gimana?”
“Gak begitu banyak. Cuma seujung jariku aja.”
Masuk! Umpan Tatjana berhasil dimakan. Irene reflek melotot dan sedikit pukul mulutnya sendiri. Dia juga masih gak mau adu tatapan sama si Mama.
“SEUJUNG JARIMU??!”