The five stage of grief (Denial)

437 58 7
                                    


“Saya gak pernah ngajarin kamu kurang ajar. Buat apa berilmu tapi tidak beradab.”

Tatjana lempar baju hitam untuk Irene gunakan melayat ke rumah Wendy sekarang juga.

Kata-kata Mamanya selalu menusuk ketika marah. Irene sedikit merunduk dan ambil bajunya yang tergeletak dibawah tanpa mau bertatapan dengan tatapan Tatjana.

“Kamu pikir—semua ilmu yang ada di  kepalamu itu paling berharga? Ketika kamu gak punya adab untuk menghargai orang lain, semua ilmu kamu itu cuma gumpalan sampah.”

Sesampah itukah Irene dimata Tatjana sekarang? Sampai penyebutan dirinya diganti dengan kata 'saya' semenjak Irene jujur tentang masalahnya bersama Wendy.

“Jangan jadi pengecut seperti papamu. Saya gak suka.”

“Mah—”

“Ganti bajumu sekarang. Saya gak mau nunggu lagi.”

Pasrah, Irene berakhir melenggang pergi sambil bawa bajunya kedalam kamar.

Mungkin disini Irene lupa kalau Mamanya ini selalu mengutamakan adab dibandingkan dengan yang lain.

Karena ya kata-kata Tatjana punya akurasi benarnya sampai 100%. Tanpa tapi dan tanpa bantahan. Orang berilmu gak akan jadi apa-apa kalau adabnya buruk. Irene harus ingat itu.
















;

Siluet Irene dan Mamanya yang berjalan masuk kedalam rumah Wendy sukses menjadi objek penglihatan Taeyeon didalam mobil.

Taeyeon berdecak, dia segera pasang tudung jaketnya dan tarik maskernya sampai sukses menutupi setengah wajahnya.

Pintu mobil sudah setengah terbuka, tapi Key yang ada di kursi kemudi itu langsung tarik lagi pintu mobilnya sampai sukses tertutup.

Taeyeon mengerang gak suka. Dia lepas lagi maskernya dan tatap Key dengan tatapan marah penuh emosi.

Nyaris satu jam mereka diam didalam mobil, dan selama itu juga Taeyeon tahan hasratnya untuk pergi kedalam.

“Key! Biarin aku masuk kesana.”

Kepala Key geleng keras, pintu mobil beralih dikunci dari dalam.

“Enggak kak, kalau kamu maksa masuk kesana, semua orang bakalan sadar kalau kamu itu Kim Taeyeon. Kamu gak akan tau disini pasti ada paparazzi.”

Taeyeon reflek melihat keluar jendela, semua omongan Key benar. Karena setelah kabar berita ikatan pertunangannya dengan Ravi gak berlanjut—semua media seolah sibuk mencari-cari alasan dibalik berakhirnya pertunangan mereka.

“Tapi Key, kamu lihat sendiri kan, Irene curi start. Sedangkan yang lebih dulu sampai disini itu aku!”

Masa bodo, Key gak ngurusin hal idiot itu.

Mau siapapun yang datang lebih dulu dan siapa yang masuk lebih dulu itu gak penting. Key hanya mementingkan karir Taeyeon aja. Kalau karir Taeyeon hancur secepat kedipan mata, maka nasibnya juga bakalan ikut hancur.

“Gak ada gunanya kamu mikirin itu kak, kalau kamu nekat masuk kedalam, dan nanti tiba-tiba ada artikel tentang kamu jangan salahin aku.

“—dan kalau kamu masih mau masuk kesana ya silahkan. Tapi kamu juga harus ingat Kim, begitu kamu keluar dari sana, aku jamin kalau bukan cuma hidup Wendy aja yang kacau. Tapi hidup orang-orang yang kerja di Kumiko juga ikutan kacau.”

Taeyeon gak bersuara lagi, dia mencerna semua omongan Key pelan-pelan walaupun masih gak terima karena start nya dicuri Irene.

Dan yea, Taeyeon mengalah dengan alasan demi keamanan hidup Wendy.

“Kita pergi aja dari sini Key, aku bakal datengin Wendy setelah semuanya kembali normal dan Wendy gak berkabung lagi.”

“Good girl.”















;

Semuanya menghitam secara bersamaan karena suatu peristiwa. Disini terlalu mendung dan terlalu sedih untuk dirasakan oleh hati yang paling dalam.

Tatjana dan Irene perlahan masuk kedalam, Wendy reflek menoleh kearah mereka berdua. Dan perlahan Solji mengendurkan rangkulannya di bahu gadis poni lucu yang tengah berkabung ini.

Tangan Tatjana terangkat keatas, usap lembut puncak kepala Wendy dari atas sampai pipi halus sekali. Irene memperhatikan dengan pakaiannya yang serba hitam.

“Ibu turut berdukacita ya. Maafin ibu karena belakangan ini kita malah menjauh.”

Ohmygod.

Solji gigit lidahnya sendiri—selama ini Wendy selalu pesimis dan gak percaya diri kalau hidupnya akan tetap sendirian sampai dia mati. Tapi sekarang, ada dua manusia yang rela mengucapkan rasa belasungkawa nya secara tulus.

Wajah Wendy flat. Tapi Irene bisa lihat kalau matanya sembab luar biasa. Entah di bagian mana Wendy simpan rasa sedihnya. Irene gak bisa menemukannya dalam sekali tebak.

“Kita sama-sama beresin ini ya, ibu gak akan ninggalin kamu sendirian. Mana? Mana yang harus ibu beresin sekarang?”

Tatjana yang selalu baik hati. Air mata Wendy menggenang di pelupuk mata, berjatuhan tanpa ampun ketika telinganya dengar kalimat Tatjana yang penuh perhatian.

Tangan Wendy bergetar, dan wajahnya tetap datar. Padahal air matanya sukses bikin banjir.

Wendy tatap lamat-lamat peti mati yang berisikan Ibunya. Irene sudah ada disamping tubuh, ragu untuk menguatkan karena terhalang sesuatu.

Lidahnya kelu, Wendy seolah sengaja membutakan matanya atas kehadiran Irene hari ini. Tatjana tau sekarang mereka dalam kondisi gloomy, tapi Tatjana berharap Irene mengeluarkan adabnya didepan Wendy dan minta maaf atas ucapan dan kejadian yang mereka lalui tempo lalu.

“Aku gak butuh kalian semua. Aku yakin ibuku masih disini. Tadi malam kita masih ngobrol kok, ibuku masih baik-baik aja.”

Irene mendongak sekilas, air matanya nyaris jatoh kebawah. Dia tarik bahu Wendy mendekat, semakin menempel dan pelukannya sukses membungkus tubuh Wendy yang gak bereaksi apa-apa.

Kayaknya Wendy masih denial soal ini semua. Otaknya berproses seolah dunia masih baik-baik aja selama Ibunya masih ada didepan mata.

Nyatanya Wendy kehilangan, dunianya mendadak roboh semenjak nafas Ibunya gak berhembus lagi. Rasa sedih dan kehilangan ini terlalu kental, lebih sakit dibandingkan dengan kematian Jamie.

“Aku minta maaf Wendy. Aku gak tau lagi harus bilang apa selain minta maaf.”

Tangan Wendy balas usapan halus tangan Irene di punggungnya. Manusia ini, manusia yang peluk tubuhnya erat ini yang sukses menambah rasa sedihnya berkali-kali lipat.

Wendy marah atas sikap Irene yang terlalu menyepelekan. Dan sekarang Ibunya pergi sebelum kalimat minta maaf Irene terucap seperti sekarang.

“Keluar dari pekerjaan mu, dan aku bakal maafin kamu.”

Irene reflek diam, usapannya total berhenti dan otaknya mendadak macet. Gimana mungkin dia ninggalin pekerjaannya, sedangkan sumber kehidupan dan kepuasannya berpusat di sana secara penuh.

Habits (Wenrene) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang