Solji menjelma sebagai kakak untuk saat ini. Benar-benar menempatkan dirinya senyaman mungkin dihadapan Wendy.
Niatnya memang cuma untuk menjenguk sang Ibu, tapi gimana mendungnya raut Wendy sukses menahan tubuhnya, terduduk dengan satu keranjang kecil aneka buah diatas meja.
Ada kulit jeruk yang dibiarkan menumpuk diatas piring, Wendy pelakunya.
“Taeyeon apain kamu.”
Wendy mengedikan bahunya sekilas, ambil satu buah apel diatas meja dan digigit santai.
“Gak penting.”
“Rajinin cerita. Aku bilang kan apa, tuh matamu bengkak.”
Kunyahan apel didalam mulutnya reflek berhenti, terus senyum sedikit setelah diam beberapa saat. Sementara Solji masih menatap lurus, tatap wajah lucu dari Wendy yang dominan sedih semenjak dia datang kesini.
“Keliatan yah, maaf ya.”
Satu gigitan lagi tercipta, pandangan Wendy total melamun, gak mau adu pandangan ke depan.
“Udah gak sehat. Kalian harus pisah, kamu atau dia. Cepat cari jalan keluar.”
Kalimat diatas dibiarkan tanpa jawaban, Solji sudah sangat hafal Wendy yang begini.
Apalagi kebiasaan Wendy yang langsung diam saat dia ngerasa gak bisa melakukan apa-apa.
Selalu kalah, cengeng, dan lemah. Wendy cuma perlu ketegasan dirinya sendiri, Solji tau dan pasti Wendy lebih tau kalau hubungannya bersama Taeyeon bahkan mustahil dia putuskan sendiri.
Jalan keluarnya hanya satu; Wendy harus berdiri di kaki sendiri dan lepasin semua tali temali yang Taeyeon ikat, Wendy harus cari seseorang lain yang bersedia untuk lakuin itu.
Dengan begitu dia jadi punya alasan, dan Taeyeon gak akan mengurung dirinya lagi untuk pribadi. Kekecewaan Taeyeon yang harus Wendy kejar—make it real, dan biarin Taeyeon buka tali yang dia ikat sendiri.
Wendy terus menunduk, beralih Solji hela nafasnya dan ambil tissue basah diatas meja, ambil satu lembar lalu dia pegang lengan kiri Wendy hati-hati.
“Di bagian mana? Pria itu tumpahin dibagian yang mana.”
Ah—setelah sekian lama, akhirnya Solji berani bahas tragedi itu.
Wendy menatap lurus, entah dari kapan dia nangis, yang jelas sekarang wajah Solji di depannya total blur.
Jemari menempel ke rambut, bahkan Wendy sempat melirik kebelakang lihat Ibunya yang masih tertidur.
Solji segera usap rambut hitam sebahu milik Wendy itu dengan tissue basah.
“Mana lagi,”
Wendy sentuh kupingnya. Solji jadi agak gemetaran.
“Mana lagi.”
Sekarang wajahnya yang ditunjuk. Air mata lolos beberapa kali dan Wendy benar-benar bungkam,
Solji ganti tissue basahnya dengan yang baru, terus usap wajah putih Wendy yang sekarang berubah merah karena tahan isakan.
“Mana lagi.”
Lengan Wendy sedikit di gerakan, isyarat untuk Solji kalau bagian lengannya juga kena.
Hati Solji mencelos, Wendy masih ingat secara detail, padahal itu sudah 10 tahun yang lalu. Inilah yang Solji bawa, benar-benar menjadi kakak untuk Wendy.
“Ada lagi?”
Wendy diam sebentar, kemudian dia ambil lagi apelnya, digigit dengan rasa getir pengen nangis. Manisnya gak berasa apa, yang ada dia malu sekarang, didepan Solji yang tatap dia kasihan.
“Di rok sekolah. Di baju sekolah juga.”
“Tapi kan itu sudah kamu bakar.”
Kepala Wendy menggeleng keras, apelnya di lepeh keluar dari mulut. Semakin dia ingat kesana semakin gak ada rasa manis dari apelnya berubah hambar.
Wendy pegang sisi kepalanya dengan tundukan kepala, “Disini masih ada, masih utuh kak, gak bisa dibakar.”
Owh, Solji tersentak maksud dari ucapan Wendy.
Baju seragam itu masih utuh didalam ingatan.