Young blood thinks there's always tomorrow

352 52 6
                                    




Setelah lama absen, akhirnya Wendy bisa kembali bekerja.

Krystal bantu pasang apronnya dibelakang punggung.

“Gimana kabar ibumu?”

“Sudah lebih baik Krys.”

Hela nafasnya keluar, Krystal mengangguk samar dan mereka jadi saling hadap setelah apron terpasang sempurna di tubuh kecil milik Wendy.

“Abraham sama teman-temannya selalu nyari kamu.”

Mereka mulai cuci semua bahan masakan, Krystal selalu kelihatan bersemangat. Padahal tahun ini dia lumayan dibuat pusing dengan tugas akhir dari kampus.

“Iya kah? Aku jadi ngerasa bersalah deh kalau keseringan meliburkan diri.”

Senyum keduanya tercetak manis, dan Jaehyun mulai gabung sambil bawa beberapa kantong sosis di pelukan.

“Wendy, ada ibu wakil kepala sekolah nyariin kamu. Kamu ke depan dulu gih.”

Kali ini Wendy beralih tatap wajah Krystal, seolah minta jawaban. Tapi nihil, raut Krystal juga keliatan gak tau.

Dan begitu Wendy langsung buka sarung tangannya, cuci tangan di air yang mengalir, sedikit lap tangannya ke apron biar gak terlalu basah. Kemudian jalan cepat ke depan.

Sesuai sama omongan Jaehyun, orang yang mencari dia ternyata sudah duduk rapi di meja kantin. Wendy memberikan senyum, dan wanita itu balas pake senyuman juga.

“Ada apa ya ibu cari saya?” langsung ke inti, Wendy gak bisa mengulur, kerjaannya masih menumpuk.

Wanita yang Wendy taksir umurnya ini sedikit lebih tua dari Ibunya pun kembali tersenyum. Senyum yang mengingatkan dia ke seseorang, tapi gak tau yang mana satu.

“Saya cuma mau tanya sedikit sama kamu. Boleh?”

Wendy anggukin kepalanya, “Silahkan.”

“Kenapa kamu minta resign? Padahal kamu sudah dua bulan lebih kerja disini. Kalau kamu berhenti, anak-anak pasti nyariin.”

Mulutnya seketika bungkam, pandangannya kebawah, sedikit mikir juga jawaban yang pas.

Kalau Wendy jujur kenapa dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan ini karena fisiknya yang gak sanggup, takutnya malah jadi merembet kemana-mana.

Bilang aja dia kaget dengan sistem kerjanya, yah terbiasa kerja sesuai panggilan, Wendy masih gak bisa menyesuaikan keadaan.

“Ibu saya ada di rumah sakit, gak ada yang nungguin selain saya bu.” lagi-lagi Ibunya jadi tumbal alasan.

“Ohh, jadi karena itu waktumu jadi kurang fleksibel ya?”

“Iya.” singkat sekali jawabannya. Ada rasa canggung dan segan sedikit ketika dihadapkan dengan orang yang lebih tinggi. Bahkan buat angkat wajahnya aja Wendy terlalu malu.

“Gini aja deh, kamu mau gak kerja di rumah saya? Datangnya gak usah pagi-pagi, kerjamu cukup siapin makan buat anak saya. Kasih dia bekal. Kalau sudah selesai, kamu bisa pulang temenin ibumu di rumah sakit.

—Tapi sorenya kamu harus balik lagi, siapin makan buat anakku. Setelah itu kamu bebas, mau nginep silahkan. Enggak juga ya gapapa. Fleksibel kan itu?”

Tundukan kepala Wendy mulai terangkat, mereka jadi saling tatap dalam waktu yang cukup lama.

Lumayan bingung juga sih sebenarnya, karena hal remeh begitu aja Ibu wakil kepala sekolah malah memperkejakan orang lain.

Tapi masa bodo. Ini kesempatan emas, dengan begini dia gak perlu lagi jadi jobseeker, dan niatnya supaya benar-benar lepas dari Kumiko semakin mudah.

“Memangnya ibu gak bisa masak kah?”

Hey, orang sibuk mana sempat. Keburu telat.

Dan dengan senyum malu-malunya wanita itu terpaksa mengangguk.

“Sesekali saya sering masakin anak saya, tapi dia bilang masakan saya gak enak.”

Konek, mereka berdua bahkan bisa ketawa kecil sama-sama. Di keputusan akhir—Wendy terima tawaran itu, dan Ibu kepala sekolah mengangguk puas, rasanya lega.

Mereka beranjak berdiri setelah obrolan selesai, disini Wendy agak memicingkan matanya lebih fokus supaya nama dari wanita didepannya yang terpasang di kemeja bisa terbaca.

Tatjana Ilana Bae sukses ter-eja didalam hati setelah mereka menyudahi pertemuan. Dan baru kali ini setelah nyaris 3 bulan Wendy bekerja disini dia tau nama wakil kepala sekolah.

Habits (Wenrene) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang