Untuk kali pertama Ibunya dan Irene bertemu di rumah sakit.
Wendy memutuskan untuk tolak tawaran Tatjana supaya menginap. Dia gak akan bisa tidur kalau harus meninggalkan Ibunya sendirian.
Sekarang mereka posisi bertiga, yang paling tua masih terlihat sayu kurang bertenaga. Wendy lihatnya kasihan kan, padahal Ibunya di rumah sakit nyaris satu bulan. Tapi kondisinya masih belum ada perkembangan.
“Ibu—ini Irene.”
Tahan dulu sebentar.
Antara Irene dan Ibu jadi saling tatap, bahkan tubuh Ibu sedikit bangun dari posisi baringnya. Wendy mendekat niat menahan,
“Dokter ini,”
Dan menggantung. Disini Wendy gak berbicara banyak, dia terduduk disebelah Ibunya yang sekarang sukses lihat wajah Irene secara jelas.
Pipi Irene sedikit dapat sentuhan dari jemari wanita tua ini, Irene beralih bungkam, alisnya mengkerung tanda mikir keras.
Agaknya Irene sedang proses mengingat, begitu juga dengan apa yang dilakukan Ibu Wendy.
Lebih kagetnya lagi, Ibunya ternyata tau Irene ini dokter. Padahal Wendy gak pernah habisin beberapa jam bersama Ibunya untuk bahas siapa Irene secara intens.
Gak pernah sama sekali.
Tapi begitu semua memori kejadian kembali kedalam kepala masing-masing, Irene langsung melotot reflek, bahkan wanita tua didepannya gak tahan untuk gak nangis.
Wendy masih bingung, mereka kenapa?
“Ini ibu kamu?” tanya Irene sambil usap sebelah kaki Ibunya Wendy supaya lebih tenang.
Wendy jelas mengangguk. “Iya ini ibu aku, memangnya ada apa. Kasih tau aku kak.”
Irene kembali bungkam, Wendy dapat tepukan halus dipunggung dan reflek menoleh kebelakang lihat Ibunya yang terus menangis.
“Dokter itu, dia yang urus jenazah kakak kamu Jamie. Dia juga yang beresin semua berkas-berkasnya sampai ibu bisa bawa pulang jenazah kakakmu ke rumah, Wendy.”
—kamu harus banyak terimakasih sama dokter ini.”
Omongan panjang lebar Ibu menjelaskan semuanya. Walau nadanya sedikit tersendat karena tangisan, tapi Wendy faham.
Kebetulan macam apa ini, terlalu terencana, terlalu mengejutkan dimalam begini. Setelah suasana hujan mereda dan jalanan total basah.
Wendy terus usap punggung Ibunya yang peluk dia erat, bahkan tangisan Ibunya terdengar getir, mungkin Ibu ingat bagaimana kakaknya Jamie yang sudah tiada beberapa bulan yang lalu.
Sementara Irene gak berkutik, kali ini—sekali lagi, dia lihat kembali gimana air mata Wendy lolos lebih banyak dibanding tadi sore,sebelum hujan turun dengan deras.
Bibir bawahnya digigit agak keras, lalu Irene bawa sekaligus dua tubuh itu kedalaman dekapannya.
Bedanya disini cuma Irene aja yang gak nangis. Tapi gak bisa bohong juga kalau dia rasain matanya sedikit berair. Bukan karena apa-apa, untuk pertama kalinya dia dengar isakan kuat yang Wendy tahan sedari tadi.
Dan rasanya gak tega karena terlalu kasihan.
;
“Jamie Laura Son kan?”
Wendy gak bisa buat gak ngangguk untuk mengiyakan pertanyaan Irene.
“Jamie yang bodoh.”
Celetukan gak sopan, Irene menatap gadis dengan poni lucu ini dengan tatapan gak suka. Orang sudah meninggal kok bisa-bisanya dikatai bodoh.
Posisi mereka berpindah keluar. Setelah Ibu kembali tidur karena terlalu capek, kebanyakan nangis. Nangisin anaknya yang Wendy sebut bodoh itu.
“Jangan gitu, pamali.”
Wendy mendecih, tangannya masuk kedalam kantong jaket milik Irene cari hangat.
“Ya memang dia bodoh. Aku gak suka cara dia ninggalin aku sama ibu tanpa jujur dulu soal bebannya. Padahal yang cari uang bukan cuma dia aja. Aku juga ikut nyari. Susah payah, tapi aku gak bunuh diri kaya dia.”
Waduh, Irene jadi bingung harus menanggapi omongan Wendy dengan cara apa. Selain mulutnya yang bungkam supaya gak bersuara. Modalnya segitu sih.
Irene pun masih gak nyangka kalau jenazah perempuan korban bunuh diri itu Jamie. Seohyun iseng di chapter pertama, bikin lelucon kado ulang tahunnya dengan kantong jenazah yang berisikan mayat perempuan.
Kalau dari awal Irene tau tentang ini, dia dan Seohyun gak akan bikin lelucon itu. Sedikit kurang ajar kalau boleh jujur.
_____________________________________________
(boleh di cek lagi ke chp pertama, disitu adegan pertama, awal mula Irene dan Seohyun terima kantong jenazah Jamie)