“Ya katanya sih begitu, mereka ketemu dari SMA. Bahkan biaya kuliah dia sampai diploma 3 itu Taeyeon yang tanggung.”
Bahu Irene merosot sok lemes, ubi panggangnya dilihatin gak berselera sama dia. Habis ngomong begitu di depan Seohyun entah kenapa jadi males ngapa-ngapain.
Seohyun sendiri gak berkutik, sama-sama pegang ubi panggang di tangan masing-masing. Mereka duduk di kantin rumah sakit, ngobrol tipis dan cuaca kembali mendung.
“Ah ngapain juga peduli. Gak usah sok sedih gitu.”
Irene gigit sedikit ubinya, nyoba untuk gak menghiraukan omongan Seohyun. Tapi susah,
Dia juga pengen makan ubinya seperti Seohyun. Santai tanpa beban, supaya bisa habis. Kenyang. Lalu melanjutkan aktivitas.
Nyatanya susah jir. Gak tau juga alasannya apa.
“Aku gak sedih. Biasa aja.”
Seohyun mendecih, terus tendang sekilas kaki Irene dibawah meja “Atau kamu juga mau ya dibiayai pendidikan nya sama Taeyeon.”
Tuduhan gak guna. Irene reflek pasang wajah datarnya, dan Seohyun balas terkekeh kecil.
Ubinya di simpan kembali kedalam kotak bekal, tutupnya dipasang rapi lalu Irene ambil infused water pemberian Wendy tadi pagi. Dan diminum santai depan Seohyun.
“Boleh gak aku jujur, JooHyun.”
Terus Seohyun lantas mempersilahkan sohibnya ini. Dianya sendiri ubinya belum habis, masih ada sisa setengah dan terus dimakan.
“Kemarin kita ngobrolin pembahasan itu, tiba-tiba dadaku langsung deg.”
“Alay.” respon terlalu cepat dari Seohyun. Sedikit menusuk tapi gapapa. Selow.
Hehe,tapi jangan gamblang bilang Irene itu alay juga gak sih? Karena JooHyun yang satu lagi itu agak gak terima disebut alay.
Selow-selow aslinya mental dia kena.
“Serius, rasanya gak enak. Eneg. Taeyeon juga gak se-flower itu menurutku.”
“Yaudah sih biarin aja. Orang yang udah ngerasain gimana dibiayai sama orang lain pasti bakalan terus diingat. Gausah lah kamu sok enggak suka seolah kamu itu orang paling istimewa di mata Wendy, kecuali kamu juga ikutan kontribusi.
“—terus Wendy gak masukin namamu di sana, nah itu baru kamu bisa marah. Boleh gak suka.”
Seperti biasa, Irene loading dulu sambil terus mencerna. Lihatin wajah Seohyun yang sukses habisin ubinya setelah ngeluarin kalimat panjang diatas.
“Hey, aku juga udah banyak kontribusi. Wendy itu posisinya semi pacar. Udah aku kasih mahar diawal, lima ratus ribu lho itu supaya aku bisa sewa dia.”
Untuk pembelajaran ya teman-teman. Makanya kalau lagi makan ubi itu harus dihabiskan seperti Seohyun. Supaya nanti kalau ngobrol gak mendadak idiot. Isi kepala Irene sudah terlalu ngaco gara-gara ubinya gak dihabiskan.
Mengklaim sendiri, dengan uang 500k yang gak seberapa itu. Seohyun bingung, Irene itu pintar dan berprestasi. Tapi kalau masalah ginian nilai dia jadi jeblok.
Seohyun yakin Irene ini gak sebodoh sekarang, mungkin Irene lagi alasan aja untuk gak mengakui secara langsung kalau dia kalah telak.
Kalau Irene menganggap uang 500k sebagai mahar untuk memiliki seseorang—berarti Seohyun juga berhak untuk memiliki Taeyeon karena dia sendiri udah keluar duit banyak untuk beli tiket konser wanita yang Irene sebut gak se-flower itu kan?
Terlalu enak, terlalu mudah kalau sistemnya seperti itu.
“Bodohnya.”
Habis bilang begitu Seohyun langsung tepuk tangan kecil, pasang senyumannya paling lebar dengan matanya yang tertutup halus.
;
Wendy setengah hati sebenarnya angkat telfon dari Taeyeon. Sudah ngabisin waktu hampir setengah jam, tapi obrolan mereka berputar-putar disitu-situ aja.
Dia butuh inti, dengan Taeyeon yang terus marah-marah seperti sekarang itu konyol.
“Ya terus maumu apa kak, aku harus gimana?”
“Jangan banyak mangkir, selesain tugasmu dan ingat berkat siapa kamu bisa seperti sekarang.”
“Aku gak pernah lupa kok, dan aku juga gak pernah mangkir. Aku selalu datang buatmu setiap kamu panggil aku kan?”
“Jangan banyak bergaul sama cewek itu, kamu jadi pembangkang tau gak?”
“Kak udahlah. Jangan nyalahin orang lain terus, kamu juga harus introspeksi diri sendiri”
“Lho—padahal dia gak sekaya aku, gak sepopuler aku. Dan gak lebih muda dari aku, tapi kenapa kamu harus pilih dia. Kenapa gak sama aku aja Wendy?”
“Ya karena dia baik! dia lebih lembut dari kamu, lebih tenang dari kamu! Dia gak pernah teriaki aku, dia gak panggil aku bodoh. Dan dia gak nyuruh aku diam setiap saat. Dia dengerin aku kak, kamu bisa begitu gak sama aku? Supaya aku bisa ngerasa nyaman setiap ada didekat kamu? Bisa kah?”