“Dulu itu, dia pernah deket sama dokter koas di Miguel.”
“Oh ya? Sampe pacaran?”
“Enggak deh kayaknya,”
“Lho, kenapa?”
“Ibu juga gak tau, Irene pun gak tau kenapa dokter koas itu pergi.”
“Tiba-tiba?”
“Iya, tiba-tiba aja gitu. Gak ada kejelasan.”
Wendy kedip mata satu kali, lalu terima potongan ayam dari tangan Tatjana didalam wadah untuk di marinasi.
Cerita sedikit soal Irene setelah manusia itu pergi tadi pagi, disini Wendy lumayan gak berkutik dan gak tau harus merespon apa.
Sementara Tatjana tiba-tiba dengan sukarela menceritakan kisah anaknya sendiri di masa lalu. Dia gak tau mimik wajah Wendy yang berubah-ubah seketika jadi datar dan lain sebagainya.
Agaknya Wendy kurang suka sih sama cerita kedekatan Irene ini dengan seorang dokter koas.
Gak tau deh, ya pokoknya gak suka aja.
“Namanya siapa bu?”
Hehe, gak suka tapi penasaran ya gimana :)
“Seola.”
“Cantik?”
Terus Tatjana alisnya sedikit mengkerung, gak biasanya Wendy ngobrol dengan nada bicara males-malesan begini. Ngaduk ayam yang di marinasi didalam wadahnya juga berantakan.
“Ya cantik sih, tapi tetap kamu yang paling lucu.”
Ngalus ngomongnya, Tatjana memang paling pintar mencairkan suasana.
Lho—lagian Tatjana gak ada maksud ganda, di jam sepuluh ini dia cuma mau berbagi sedikit cerita aja, ngobrol sama Wendy itu jadi rutinitas wajib setiap mereka ada didalam rumah. Walaupun gak lama tapi Tatjana menikmati kok.
Tapi, ada tapinya. Haduh, susah. Wendy orangnya memang membingungkan.
“Ibu, nanti aku izin keluar boleh ya?”
Dan akhirnya dialihkan, Tatjana senyum aja responnya. “Mau kemana?”
“Ke kantor asuransi, mau nyairin uang asuransi jiwa punya ibuku.”
“Oh? Mau ibu anter sekalian?”
Kepala Wendy langsung geleng, jalan sedikit ke sisi dan buka pintu kulkas, lalu ayam marinasinya berhasil masuk kedalam.
“Aku sendiri aja, aku juga gak akan lama kok.”
“Nantinya kapan? Siang ini atau nanti sore?”
“Siang ini, kalau sore kan orang asuransinya mau pulang.”
Terus kepala Wendy dapat usapan halus, keduanya saling lempar senyuman juga. Suasana jadi lebih menghangat kalau begini. Minus Irene aja kan, nasib orang itu sih yang katanya mau membuktikan dia juga bisa hidup keras, dari nol.
Padahal kumpul satu keluarga begini lebih seru. Berlaku untuk keluarga harmonis aja, yang keluarganya kacau balau minggir dulu.
Dari dalam kulkas tadi—Wendy bawa beberapa sayuran, proses memasak kembali berlangsung. Bahkan Tatjana sudah siap dengan pisau di genggaman.
“Taeyeon masih hubungin kamu?”
Wendy diam sebentar, hela nafasnya jadi lebih terasa berat sebab Tatjana singgung lagi satu nama yang mulai menghilang di dalam kepala.
“Sudah enggak, tapi waktu ibu meninggal, dia cukup intens hubungin aku.”
Makan siang kali ini mungkin menunya sup ya, karena bahan yang ada di kulkas menjurus ke menu itu. Lupain ayam yang sudah di marinasi karena yang satu itu entah kapan mau di makan.
Disini Tatjana sibuk potong buncis, dan Wendy sibuk cuci tomat yang dia ambil juga dari dalam kulkas.
“Kamu masih cinta sama Taeyeon?”
Air wastafel nya dimatikan, Wendy bawa lagi tomat bersihnya untuk Tatjana eksekusi. Agak grogi dan kurang nyaman juga sih kalau pembahasan siang kali ini ada nama Taeyeon.
“Sudah enggak ibu,”
“Jujur.”
Wendy mulai isi air kedalam panci, gak sampai penuh, tapi cukup untuk rebus beberapa sayuran yang sudah Tatjana potong tadi.
“Hubungan aku sama Irene masih kurang kelihatan jujurnya ya?”
Kesimpulannya ada di depan mata, Wendy gak akan punya hubungan sama siapapun kalau dia masih cinta Taeyeon kan? Tatjana beralih pasang senyum tipisnya. Tapi Wendy masih bisa lihat cara senyum Tatjana yang kurang lepas, kaya masih ada bebannya.
“Ibu kenapa?” tulus sekali nadanya, lembut. Benar-benar Wendy mode perhatian.
Harusnya gak usah pake tangisan sih, tapi Tatjana hatinya tersentuh. Apalagi gadis hamster ini terus usap bahunya lembut.
Kompor belum dinyalakan, sedangkan Wendy sibuk sama usahanya untuk menenangkan Tatjana.
“Irene itu banyak kurangnya, ibu kadang khawatir sama dia. Rasanya sedih setiap hari lihat dia sendirian, sibuk kerja. Irene kaya gak perduli dunia selain dunianya sendiri.”
Belum ada tanggapan dari Wendy, segan rasanya menyela omongan orang yang lebih tua. Bahkan Tatjana lolosin satu dua kali air matanya jatoh kebawah.
Kasih sayang seorang Ibu ya begitu. Selalu khawatir sama kondisi anaknya padahal yang di khawatirkan itu selalu bilang baik-baik aja.
Dari sini—cara pandang antara anak dan orang tua aja kelihatan sekali bedanya.
“Tapi sekarang ibu bahagia dia punya kamu. Dia bisa seriusin sesuatu yang bukan pekerjaan. Ibu seneng ada kamu Wendy. Jadi, jangan tinggalin Irene ya. Jangan balik lagi ke Taeyeon.”
Sebuah permintaan yang gak pernah Wendy sangka seumur hidup. Langsung dari mulut induknya, siapa yang gak kaget?
Mulut Wendy masih bungkam, Tatjana remas telapak tangannya setelah bilang kalimat permohonan yang langsung diangguki Wendy.
Keduanya saling lempar senyuman, lalu setelah itu—kompor segera dinyalakan dan Tatjana masukin wortel kedalam panci.
Wendy masih takjub sama omongan Tatjana, karena selama dia ada di sisi Taeyeon, orang-orang selalu minta dia untuk menjauh dari Taeyeon. Tinggalin selagi bisa, karena ya menurut mereka, Wendy itu penghambat segalanya. Taeyeon gak akan fokus sama karirnya selagi Wendy masih ada di dekat Taeyeon.
“Ibu, kenapa ibu Tatjana bilang supaya aku gak boleh tinggalin Irene. Karena kalau boleh jujur, disini itu aku yang takut Irene tinggalin. Aku gak punya apa-apa, aku juga banyak kurangnya.”
Tatjana mulai memperhatikan Wendy lagi setelah dia beres lapin sisa percikan air diatas meja.
“Kamu sendiri tau kan, kalau Irene itu anaknya kaku dan membosankan. Seola juga pernah bilang kalau anak ibu itu kurang gaul. Mungkin menurut kamu itu bukan kekurangan, tapi bagi ibu selaku orang tuanya—itu salah satu kekurangan Irene yang gak bisa dihilangkan.”
“—Ibu juga pernah tanya sama Irene, kenapa dia harus sewa kamu? Kenapa gak pendekatan aja biar terasa lebih normal? Dan kamu tau apa jawaban dia?”
Kepala Wendy langsung geleng, tatapan matanya super fokus di wajah Tatjana. Wendy bahkan gak mau berkedip, dia takut ketinggalan satu kalimat penting dari mulut Tatjana.
“Dia bilang, dia trauma sama yang namanya pendekatan. Dia trauma sama cara pendekatannya ke Seola waktu itu. Katanya buang-buang tenaga dan waktu, dan dia pilih cara instan supaya langsung jadi. Supaya dia gak ngerasain lagi rasanya kekosongan dan penolakan.”