I can see right through it

364 65 9
                                    

Masih tersisa 2 jam sebelum tugasnya dilaksanakan. Wendy memilih untuk tidur satu bangsal bersama Ibu yang terus tertidur setelah makan siangnya habis, sedikit.

Wendy menerawang jauh, kejadian sore hari dibawah langit mendung diatas kap mobil Irene waktu itu.

Pelukan, deru nafas, dan wangi tubuh Irene lumayan melekat. Ini nyaris sama seperti ketika dia ada di dekat Taeyeon.

Dahinya dipijat halus, tatapan kosong masih di sana—perlahan bayangan Taeyeon sedikit memudar didalam kepala setiap hari. Tetapi ya gak sepenuhnya menghilang.

Wendy hela nafas, beralih ambil ponselnya didalam saku celana. Ada pesan singkat dari Ibu Tatjana 10 menit yang lalu.

'Wendy, kamu bisa jalan sekarang?
Atau saya jemput aja'

'Enggak usah ibu.
Biar saya jln sendiri'

'Oke deh,
Nanti alamatnya saya kirim ya'

'Iya'

Sesi berbalas pesan mereka berhenti disitu. Wendy sedikit melirik kebelakang, lihatin Ibunya yang masih tertidur lalu hela nafasnya keluar sekali lagi.

Andaikan aja Ibu gak mewariskan omongan apa-apa, pasti sekarang dia masih terima panggilan jadi pacar sewaan. Yah mungkin ini memang sudah terdikte.

Sekarang harus mulai terbiasa dengan semuanya, dengan begini jadi lebih punya tujuan hidup kan :)














;

Taxi berhenti tepat didepan rumah dengan banyak pohon kecil, Wendy pasang senyumnya karena ada Ibu Tatjana yang berdiri tepat didepan pagar.

“Jauh gak?”

Kepala Wendy menggeleng samar, sedetik kemudian bahunya naik sekilas. Tatjana terkekeh lihat respon gadis muda dengan poni lucu ini.

“Dibilang jauh enggak, tapi dibilang deket juga enggak.”

Keduanya berakhir ketawa kecil, lalu ngobrol tipis sambil jalan masuk kedalam.

Wendy tenteng tas kecilnya pake dua tangan didepan, siluet mobil putih di garasi rumah ini berhasil jadi perhatian. Mengira dan menebak didalam hati, mencoba mengenali; pernah lihat dimana kiranya.

Pintu rumah terbuka, Tatjana mempersilahkan Wendy masuk. Dan dengan senang hati Wendy mengangguk, 

Sampai ternyata sebuah figura besar dengan potret Irene yang lengkap memakai pakaian toga sukses mengubah senyum manisnya dengan ekspresi kaget. Bahkan matanya membulat karena masih gak percaya.

Padahal susah payah dia bikin jarak setelah insiden nyaris ciuman waktu itu. Malah hari ini dengan mudahnya dia datang ke rumah Irene.

Pantas aja senyuman Ibu Tatjana selalu mengingatkan Wendy ke siapa—bahkan mobil putih yang dia lirik di garasi tadi ternyata mobil yang selalu Irene pake setiap mereka jalan keluar.

Bjir,

Kalau iya Irene ini anaknya Ibu Tatjana, berarti dia harus nyiapin segala sesuatu untuk Irene setiap hari? Wendy kira anaknya Ibu Tatjana itu anak sekolah, karena ya, yang paling Ibu Tatjana pinta itu siapin makan dan bekal untuk anaknya.

Wendy mendadak diam ditempat, Ibu Tatjana juga ikut diam. Kemudian pundaknya dapat satu tepukan halus.

“Wendy kenapa?”

“Aku—” blank total. Gak bisa mikir jawaban apapun. Mulutnya terasa lengket karena rasa gugup.

“Kamu capek ya? Kalau kamu capek, besok-besok biar saya yang antar jemput kamu aja ya. Atau kamu nginep aja disini, pulangnya seminggu sekali. Nanti ibumu biar saya yang urus buat jengukin. Saya bakal nyuruh orang.”

Bukannya menenangkan, ucapan Ibu Tatjana malah bikin Wendy tambah panik.

Wendy paling gak bisa menyusahkan orang lain. Habits yang tercipta semenjak dia jadi pacar sewaan.

Padahal baru aja dia memutuskan untuk gak menerima lagi uang dari Irene. Tapi ternyata mulai detik ini Wendy malah terima uang dari Ibunya.

“Ibu Tatjana gak usah repot-repot. Aku pulang setiap hari, itu bukan masalah. Ibuku juga pasti maunya aku yang ngurusin dia.”

Raut Tatjana yang tadinya khawatir mulai berubah jadi agak lega. Kali ini mereka saling balas senyuman, bahkan Wendy dapat usapan lembut di lengannya.

“Kurang dari satu jam anak saya pasti sudah di perjalanan pulang. Kita langsung ke dapur aja yuk.”

Kepala Wendy mendadak berat, dia masih diam begitu Tatjana jalan lebih dulu kearah dapur, dan kemudian Wendy mengekor. Gak mau lihat ke sisi dinding yang terpampang foto Irene segitu gedenya.

Kurang dari satu jam sebelum Irene bisa bergabung, bulu halus di wajahnya meremang. Telapak tangan mendadak basah. Wendy masih belum siap untuk bertatap muka lagi setelah kejadian nyaris ciuman mereka yang gak jadi itu.

Rasanya malu. Ya walaupun waktu Irene juga kasih sinyal yang sama, tapi dia juga gak begitu yakin.

“Ibu, foto gede yang di depan itu foto anak ibu kah?”

Make sure aja sih, meskipun pasti jawabannya sama persis dengan apa yang ada didalam kepala.

Tatjana dengan kerutan di setiap sudut matanya itu tersenyum, lalu mengangguk.

“Iya, itu anak saya. Dia Forensik. Saya minta kamu kerja disini karena masakan kamu enak dan sehat. Anak saya pola makannya gak teratur, dan dia gak suka masakan saya.”

—selera makannya juga agak aneh. Kamu harus terbiasa ya.”

Wendy reflek ketawa kecil, Irene memang selera makannya unik dan aneh, dia gak akan kaget karena sudah tau dan terbiasa.

Habits (Wenrene) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang